Siluet #12: Pemotretan (revisi)

411 44 10
                                    

"Perempuan hanya membutuhkan komitmen. Itu yang tidak bisa dia berikan pada kita."

***

"Bagaimana rasanya?" satu pertanyaan meluncur pelan dari mulutku.

Mami yang sedang membereskan kuas make up mengangkat alis pertanda tidak mengerti dengan pertanyaanku yang tiba-tiba.

Meja di depanku sudah bersih setelah sebelumnya kami makan nasi kotak bersama-sama dengan semua kru kerja.

Di sudut lain, Jacob sibuk merapikan gaun-gaun dan beberapa properti. Dua orang asisten yang membantu Mami, sedang berada di ruang sebelah tempat pemotretan berlangsung. Bisa kupastikan salah satu dari mereka memegang gawai untuk live di akun medsos Mami dan seorang lainnya bersiap di dekat fotografer jika ada hal yang perlu dibenahi dari sang Model.

"Maksudmu?" tanya Mami akhirnya.

"Bagaimana rasanya mencintai seseorang, tapi kalian tidak bisa bersama?"

Mami nampak terkejut. Tapi wajahnya tetap tersenyum seperti biasa.

Aku menggeser posisi ketika perempuan cantik tercintaku mendekat dan duduk di samping kanan.

"Kita sudah pernah membicarakan ini. Kamu ... sedang ada masalah?"

Aku menunduk. Apa aku harus menceritakan ini pada Mami? Selama ini dialah orang pertama yang akan mendengarkan cerita apapun dariku, sebelum kuceritakan pada orang lain. Baru kali ini aku merahasiakan sesuatu darinya.

Rasanya tidak enak. Sesak.

Memendam perasaan selama berbulan-bulan pada seorang-yang-entah-siapa-dia-aku-tak-tahu.

"Sebelum bertemu Papi, apa Mami pernah mencintai seseorang yang belum pernah Mami temui?"

"Kok pertanyaanmu aneh?"

"Sepertinya Nggi mencintai seseorang," kataku lirih hampir tak terdengar. Tapi melihat Mami terbeliak, sepertinya dia cukup jelas mendengarnya.

"Marcell?" tebak Mami yang kubalas gelengan kepala.

"Nggi juga tidak tahu siapa dia, Mi. Anggi belum kenal. Dia penulis novel ini," kutunjukkan novel Lipstik yang kupegang.

Di luar dugaan, Mami tertawa kencang. Tapi kemudian cepat-cepat berhenti menyadari hal itu bisa melukaiku karena jauh dari kesan empati.

"Mami pernah seperti itu. Jatuh cinta pada penyiar radio. Ya ampun, Nggi. Suaranya seksi sekali. Setiap malam Mami mendengarkan suara itu dengan hati tak karuan. Apa kau juga seperti itu?"

Aku mengangguk mantap.

"Kamu yakin ini bisa disebut cinta?"

"Memangnya apalagi? Anggi hampir gila setiap hari menunggu tulisannya terbit di Wattpad. Dia itu romatis parah Mi. Semua ceritanya Nggi suka. Penulisnya pasti romantis juga, iya kan Mi?"

"Lalu? Di mana masalahnya? Apa dia tidak tinggal di Indonesia dan kamu tidak bisa bersamanya?"

"Bukan ... itu sih Mami," jawabku asal.

Sedetik kemudian aku menyesal mengatakan itu, melihat raut wajah orang kesayanganku berubah muram. Hanya sesaat, lalu Mami kembali tersenyum.

Aku tahu Mami belum sepenuhnya move on dari Papi, bahkan setelah hampir dua puluh tahun berlalu.

Kadang aku merasa akulah yang menjadi penyebabnya.

Bagaimana bisa Mami melupakan Papi sementara mereka tetap bertemu setiap akhir tahun saat Papi mengunjungiku. Walau tidak rutin, Papi juga sering menghubungi Mami untuk menanyakan keadaanku, kuliahku, lalu mereka akan membicarakan banyak hal.

Siluet (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang