Siluet #32: Harapan (revisi)

690 46 32
                                    

"Apalagi alasan yang lebih masuk akal selain alasan moral?"

***

Mobil melaju ke sebuah kafe dan resto tak jauh dari rumah sakit, sekitar sepuluh menit perjalanan. Ketika J sedang memesan makanan, sebuah panggilan masuk kuterima dari telepon selular.

Nomor Pak Duren. Maksudku, nomor Pak Hendra yang sudah kusimpan, menghubungi. Aku sempat was-was jika Pak Minto yang menelepon membawa kabar tak bagus dari rumah sakit. Untunglah bukan Pak Minto.

Kuterima panggilan telepon setelah beringsut menjauh dari J.

Pak Hendra menyampaikan permintaan maaf setelah mengucap salam dan menanyakan kabar.

"Maaf kami tidak bisa menjenguk Ibumu, Anggi. Lima hari lalu, Dika pendarahan. Bayi kami tidak selamat. Kandungannya memang lemah ...."

"Innalillahi ..., Dika bagaimana, Pak?"

"Alhamdulillah, kondisinya sudah membaik. Hari ini kami diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Oh ya, bagaimana kondisi ibumu?"

"Alhamdulillah sudah membaik juga, Pak. Mohon doanya, Pak."

"Kita saling mendoakan ya, Nggi."

Kututup ponselku sambil menarik napas. Dan ternyata ini pun bukan kabar bagus walau bukan dari Pak Minto.

Pada akhirnya aku mengerti, ada banyak hal yang tidak bisa dihitung dengan rencana-rencana dan juga data.  Tabir hidup anak manusia akan selalu penuh misteri sarat makna.

Seraya menutup mata, kurangkai doa dalam hati untuk kesembuhan Dika, kesembuhan Mami, juga doa untuk keadaan yang lebih baik untuk semua orang-orang yang kusayangi.

Tak lupa, kusebut nama Iko dan kusisipkan doa agar ia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga karir barunya tak membuatnya lupa dari mana ia berasal.

Salah besar jika aku tidak mengikuti berita tentang Iko belakangan ini. Wajah rupawan, body menawan, keahlian bela diri yang memukau, serta euforia pemberitaan tentang sosoknya, tak akan dilewatkan begitu saja oleh media.

Bohong jika aku tidak bahagia melihatnya akan segera merilis film perdana. Bukan sebagai penulis skenario, melainkan pemain laga!

Aku cukup tahu siapa orang yang bisa melihat potensinya di dunia entertainment. Orang yang sama, yang jeli melihat bintang baru bersinar karena gossip, namun ia sendiri tak mau kehidupan pribadinya diekspos. Mr. Singh.

Kupikir-pikir, ternyata berbuat egois tak selamanya buruk.

*

Adzan maghrib berkumandang sayup dari kejauhan. Kucari ruang yang biasa disediakan bagi pengunjung kafe untuk beribadah. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku begitu menikmati setiap momen kembali. Merasakan kedekatan tak berjarak antar makhluk dan Penciptanya. Meresapi kelemahan sekaligus kekuatan yang secara aneh dianugerahkan olehNya dalam satu waktu.

Jerrico.

Kubungkus namanya dengan indah beserta semua ingatanku tentangnya. Mungkin akan lebih baik jika ia memang hanya menjadi siluet dalam hatiku saja, untuk selamanya.

Bagaimana dengan J? Apa aku juga berdoa untuknya?

Jangan tanya tentang J. Subscriber-nya makin melejit tajam. Yang pasti akan berpengaruh pada popularitas dan dollar dalam rekeningnya.

Akhirnya, hubungan ini benar-benar membawa faedah buat Iko, seperti yang dia mau. Bonusnya, J ikut terseret. Itu bukan rencanaku, bukan pula skenario Iko, pastinya, kehendak Tuhan.

*

Aku kembali ke sudut teras kafe di mana J mungkin sudah duduk menunggu. Dua latte hangat sudah tersaji, tapi dia tak ada. Saat mataku berkeliling mencari, cowok itu terlihat baru saja keluar dari ruang ibadah yang sama denganku. Buru-buru kualihkan pandangan ke arah cangkir kopi. Lagi, ada hangat yang menyusup di hati.

Siluet (Completed)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz