Siluet #9: Laweyan (revisi)

415 47 27
                                    

"Asal kalian tahu, aku bukan orang yang mudah percaya dengan orang lain."

***
Kukira aku sedang melakukan perjalanan kembali ke masa lalu dengan mesin waktu atau semacamnya.

Saat ini, mendengar decit pedal becak tua di atas jalanan beraspal, diiringi tawa dua lelaki beda usia, melewati sepanjang jalan penuh bangunan-bangunan tua atau sengaja dibuat antik menyerupai bangunan tua, aku merasa terasing sekaligus takjub.

Seperti kau sudah pergi lama dari suatu tempat, sampai lupa apapun tentang tempat itu, lalu suatu hari kau kembali. Asing sekaligus 'yeah, I am home'.

Dua orang itu, J dan Pak Tua si tukang becak, tampak akrab. Seperti dua orang yang sudah saling mengenal lama.

Padahal dari pengakuan J, ia baru dua kali ini pergi ke Solo. Tapi lihatlah, mereka tertawa, mengobrol, kadang diselingi prank enggak penting yang sedang tren macam 'hey ... hey tayo ... hey tayo ...!, lalu pak tua itu tertawa. Mungkin gaya bernyanyi J yang lucu atau karena ia memang tahu tentang film kartun yang sangat cocok untuk cucunya itu, entahlah.

Aku banyak diam. J sendiri seperti sudah terbiasa dengan semua ini. Menyapa orang asing, mengobrol, dan tertawa-tawa tanpa jarak.

Sepertinya dia memang selalu begitu.

Tapi aku bukan J. Aku tidak bisa secepat itu mengakrabkan diri dengan orang asing. Hanya nasib sial yang berhasil memaksaku duduk satu becak dengan orang yang baru kukenal semalam.

*

J membawaku turun di sebuah tempat. Pada ujung jalan terdapat papan yang digantung tinggi bertulis : KAMPUNG BATIK LAWEYAN. Tempatnya para pengrajin batik rupanya.

Wow! Sabtu ini ramai sekali oleh pelancong. Tua muda, cewek cowok, pengunjung dan pengrajin, membaur jadi satu.

Sepanjang jalan yang kulihat hanyalah batik dan batik. Dari rumah-rumah penduduk yang berdesakan itu, dipajang aneka batik, baik yang masih berbentuk lembaran kain maupun pakaian siap pakai aneka model dan gaya.

Aku sudah tidak asing lagi dengan batik. Tapi untuk proses pembuatannya, aku memang belum pernah pernah melihatnya secara langsung seperti di sini.

Para pengunjung dan wisatawan dapat mengikuti proses membatik secara tradisional baik pada batik tulis maupun batik cap yang diperagakan di depan rumah-rumah dan galeri.

Insting jurnalisku tak melewatkan satu momen pun. Mbok-mbok bergigi merah yang sedang membatik dengan canting dan malam di tangan, sampai terkekeh-kekeh dengan berondongan pertanyaan recehku.

Bukankah ini bagus? Pekan lalu tugasku tidak selesai. Aku tidak punya bahan untuk membuat artikel jurnal.

Dan ... salah satu tips, eh, salah dua tips dari Chuck Sambuchino untuk mengatasi kebuntuan menulis yaitu dengan do anything that's creative dan move your body.

Jalan-jalan contohnya. Aku pernah baca itu di artikelnya yang berjudul "7 Ways to Overcome Writer's Block".

Hari ini aku absolutelly yess sama tulisannya.

Selain proses membatik, spot-spot lain tak luput dari jepretan kamera. Batik-batik berwarna-warni cerah beragam corak yang menjadi ciri khas batik Laweyan sangat menarik untuk bahan tulisanku nanti. Sangat berbeda dengan batik Kauman yang sudah terkenal dengan Danarhadi-nya yang bernuansa coklat dan hitam nan klasik.

Coba tebak, apa yang paling kusuka?

Di sini rupanya banyak sekali spot bagus untuk fotografi.

Kufoto beberapa pintu kuno dengan kamera ponsel lalu kukirim pada Mami melalui aplikasi chat.

Dan langsung dibuatkan status dengan caption : CAN'T WAIT TO EXPLORE IT dengan emoticon gambar hati yang sangat banyak.

Ini memang kesukaan Mami banget; foto di depan pintu kuno yang tertutup rapat.

Bukan hanya pintu kuno sebenarnya. Mami akan berfoto di depan pintu mana saja yang menurutnya unik dan lucu.

Kemanapun ia pergi selalu ada foto-depan-pintu yang menjadi oleh-oleh wajib travelling Mami.

Aku tidak tahu alasan Mami melakukan itu. Mungkin semacam kode yang menggambarkan pintu hatinya yang tertutup rapat buat lelaki manapun selain Papi. Ups!

*

Aku dibuat terheran-heran oleh J yang terus saja menyapa semua orang. Lalu ketika sese-ibu hampir terjatuh karena beban yang digendong terlalu berat, J dengan sigap membantunya berdiri dan membenahi gendongan.

Aku tidak melihat kejanggalan apapun dari semua itu. Semuanya terlihat alami dan refleks. Benar-benar refleks.

Aku bahkan tidak menemukan alasan untuk mengatainya pencitraan atau apalah.

Asal kalian tahu, aku bukan orang yang mudah percaya dengan orang lain. Bagaimana kalau ibu-ibu dengan gendongannya itu hanya pengalih perhatian? Mungkin dia pura-pura jatuh, lalu dompet J tiba-tiba sudah berpindah tangan tanpa sadar. Iya kan?

Di tempat ramai macam ini, apa saja bisa terjadi.

Aku buru-buru mengamankan tas ransel dengan menggendongnya di depan dada.

"Ssst ... J ... coba periksa dompetmu. Aman ngga?"

Tanganku membuat isyarat dengan menunjuk kantong celananya.

Bukannya mengikuti isyarat, J malah tergelak. Kesel kan aku?

"Kenapa?" tanyaku.

"Lho, aku yang seharusnya tanya, dompetku kenapa?"

"Ihz! Tempat ramai begini kamu kan harus waspada J. Kali aja tuh ibu tadi copet, ya kan?"

"Anggi, ini Solo. Bukan Jakarta, okey?"

"So?"

"Inilah Indonesia yang sebenarnya."

"Yang ngga perlu waspada karena ngga mungkin ada copet di Solo?"

"Bukan. Yang ngga cocok buat tempat tinggal cewek parno macam kamu. Kamu itu cocoknya tinggal di luar"

Sumpah, kali ini kutendang sepatunya sekuat tenaga biar dia jatuh terjungkal di depan semua orang karena mulut lemesnya.

Sial! Refleknya sangat bagus menghindar. Lagi-lagi aku gagal melancarkan tendangan maut.

"Tinggal di luar negeri maksudnya?"

"Di luar angkasa. Sendiri. Biar ngga perlu curiga terus sama orang."

"Terus di sana ngga bakal ada yang mepetin aku ke tembok gara-gara pake rok mini, gitu kan?"

J terdiam.

O-ow! Apa aku salah bicara?

Lalu canggung yang tegang kembali menyergap.

***

Hai...

Maaf ya sist, baru bisa up date

Biasa, ada kerjaan dunia nyata yang harus didahulukan.

Keep on 'n happy reading ya...

Makasih buat vote dan komen kaleyans...

Lasmicika

Siluet (Completed)Where stories live. Discover now