Siluet #21: Pengkhianat 2 (revisi)

456 40 17
                                    

"Mengapa orang tua bisa begitu egois?"

***

Papi menghubungi lewat email. Akhir tahun ini ia tidak bisa berkunjung. Ia masih harus segera menyelesaikan rekap pajak bank tempatnya bekerja plus rekap pajak penghasilan pribadinya.

Biasanya Papi sudah melakukan itu jauh-jauh hari karena harus ke Indonesia, ke tempatku.

Mungkin kali ini Papi benar-benar sibuk.

Mungkin kali ini Papi benar-benar sibuk

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

Sven Wucherpfennig nama Papi. Seorang pria berkebangsaan Jerman.

Kau tahu kenapa Mami harus kupanggil MAMI, padahal semua orang memanggilnya BUNDA? Itu bukti cinta Mami pada Papi.

Mami bilang, akan terdengar lucu jika aku memanggil mereka Papi dan Bunda. Jadi Mami mengikhlaskan ke-BUNDA-annya dihilangkan hanya untukku. Papi tidak tahu di Indonesia panggilan Mami sering digunakan untuk memanggil mucikari.

Fuh! Entah bagaimana rasanya menjadi Mami dengan segala kekacauan hidupnya.

Aku berharap Papi tak datang bukan karena gosip yang sedang beredar kencang akhir-akhir ini.

Ya, gosip kedekatan Mami dengan seorang produser sebuah acara televisi tempat Mami terikat kontrak sebagai penanggung jawab tim wardrobe dan make up di dalamnya.

Satu sisi, aku senang Mami mulai berani membuka diri. Di sisi lain aku tidak yakin Mami bisa melepas posisi Papi di hatinya dengan mudah.

Sampai sekarang aku belum memutuskan untuk mengambil status kewarganegaraan WNI-ku. Mami ingin kami berkumpul di sini, tapi Papi sangat ingin kami bertiga tinggal di Jerman.

Menurut penjelasan kedubes Indonesia, aku bisa kehilangan hakku sebagai WNI jika sampai usia 21 tahun tidak ada pernyataan tertulis perihal kewarganegaraan. Sekarang aku hampir berumur 20 tahun. Aku bahkan belum yakin akan tinggal di mana nanti. Entahlah.

***

Ponselku bergetar ketika sebuah v-call masuk dari Papi. Kungkat pada dering ketiga.

"Hallo, Pi," kataku riang.

"Hallo sayang. Malam terakhir sebelum pergantian tahun, heh?" Sven terkekeh tak kalah riang.

"Di sini masih pagi lho Pi ...." Kami tertawa.

Perbedaan waktu seolah tak berpengaruh untuk pertalian darah. Papi selalu menghubungiku pagi-pagi walaupun di sana ia harus terbangun tengah malam. Alasannya, jika ia meneleponku siang hari, di sana ia baru saja bangun. Dan jika ia meneleponku malam hari, di sana ia masih sibuk bekerja.

"Du bist hübsch wie immer*..." (*kamu cantik seperti biasanya)

Aku hanya tertawa. Papi selalu memuji tapi tidak berpengaruh apa-apa untukku. Aku hanya senang ia tak kehilangan selera humor.

Siluet (Completed)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum