Siluet #7: Shock (revisi)

501 59 21
                                    

"Apa dia berkepribadian ganda? Ia seorang psikopat?"

***

Mood-ku sudah sepenuhnya membaik pagi ini setelah menghabiskan hampir satu jam mandi dengan sabun beraroma lavender. Matahari mengintip dari balik tirai putih yang melambai-lambai terembus angin.

Alunan "Dance of Sarasvati" menemani kegiatanku di depan meja rias dan menyelesaikan misi terakhir mengoles lip balm warna nude salem nan lembut.

Hari ini aku memakai t-shirt tanpa lengan warna putih dengan gambar daun semanggi berwana pink di bagian depan. Kupadukan dengan rok mini jeans yang manis, memperlihatkan hampir seluruh bagian kaki yang mulus. Sangat serasi dengan jaket jeans yang kutenteng di tangan kiri. Sneakers berlogo centang warna putih dengan garis-garis tipis warna pink dan tali sepatu yang juga berwarna pink menambah sempurna penampilan kali ini.

Jerrico harus mengakui kepiawaianku memadu-padankan style baju sesuai mood. Itu salah satu yang terbaik yang kupelajari dari Mami selain keahlian memoles wajah klien.

Yup! Mamiku seorang MUA profesional.

Di mana J?

Tidak. Kami tidak tidur sekamar.

*

"Aku masih orang Indonesia kok, yang menjaga sopan santun dan adab pergaulan lawan jenis," kata J semalam.

Aku mengangguk. Memang seharusnya seperti itu kan? Tapi kenapa ya, dalam novel-novel remaja yang pernah kubaca, mereka bisa tidur satu kamar tanpa risih?

Bahkan terkesan ... asyik?

"Novel-novel yang kaubaca itu, tidak semuanya harus kau percaya, Anggi. Justru sebaliknya, mungkin penulisnya justru ingin berpesan: jangan lakukan apa yang ada di buku itu," J kembali dapat menebak jalan pikiranku.

Kok dia bisa tahu semua yang aku pikirkan, sih?

"Lagipula, dua orang cewek dan cowok yang baru kenal lalu tidur satu kamar, seharusnya memang hanya ada dalam film atau novel. Bukan di dunia nyata, terlebih-lebih di kota Solo, kota yang menjunjung tinggi adat ketimuran," J berkata sangat lirih.

Hampir tidak terdengar. Seperti bicara pada dirinya sendiri, atau bicara dengan seseorang di tempat lain. Bukan bicara denganku.

Aku masih terdiam ketika J berbalik dan berjalan menjauh.

Sebelum sampai di ujung lorong kamar, ia menoleh ke arahku.

"Oh ya, satu lagi, ngga usah takut sama aku. Aku bukan cenayang yang bisa mengetahui isi kepala orang. Adikku bernama Kasih Anggraeni dan dia dipanggil Anggi. Aku hanya menebak-nebak siapa nama panjangmu saja kok."

J tersenyum kemudian menghilang.

*

Aku bergegas membuka pintu kamar. J nampak sudah duduk pada bangku yang tersedia di lorong yang menghubungkan kamar-kamar hotel. Kepalanya agak mendongak, bersandar pada tembok di belakang. Entah tidur di mana dia semalam.

Ia memakai kacamata hitam. Membuatku tidak bisa melihat apakah mata di baliknya sedang memandangiku atau ke arah lain.

Aku berdiri bersandar pada daun pintu dan melipat kaki. Dari tempatku, jarak kami hanya terpaut lorong selebar dua meter.

Sinar lampu sedikit redup, tapi aku masih bisa melihat wajahnya dengan cukup jelas. Aku baru menyadari tenyata cowok itu berjenggot dan berkumis tipis.

Efek lampu yang temaram membuat siluet yang dramatis di wajahnya. Untuk beberapa saat aku tertegun menatapnya.

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.
Siluet (Completed)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz