Siluet #15: Bertemu Jerrico (revisi)

362 41 26
                                    

"Jika mencintainya adalah sebuah kesalahan, aku rela melakukan kesalahan itu selamanya."

***

Deg!

Jantungku berhenti berdetak. Mataku terbeliak.

Jika benar ini waktu kematianku, kenapa tak ada sakit, tak ada nyeri? Senyum terukir sempurna dari bibirku.

Jadi seperti ini ya, pertanda kematian yang khusnul khotimah? Begitu yang sering kudengar.

Waktu terasa melambat. Itu dia! Dia di sana! Aku melihatnya dan aku belum mati!

Jerrico kah itu, seperti yang J bilang barusan? Atau malaikat tampan yang hendak mencabut nyawaku?

Sosok di ujung sana berjalan mendekat. Satu demi satu ketukan sepatunya nyaris sama dengan dentuman di dadaku. Langkahnya mantap seperti langkah calon wakil presiden ganteng yang belakangan sering kulihat di televisi.

Jarak kami masih terpaut 200 meter. Jika kecepatan berjalannya 0,5 km/jam dan kecepatan berjalanku 0,2 km/jam (mirip siput, heh?), maka berdasarkan rumus waktu maka kami akan berpapasan 0,29 jam lagi, atau 17,14 menit lagi.

Ah, buat apa repot menghitung jarak dan waktu.

Sosok itu sudah sangat dekat sejak beberapa bulan terakhir. Bagiku ia tak lagi berjarak. Ia sudah ada di hatiku.

Aww!

Mataku tak berkedip menikmati keagungan ciptaanNya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mataku tak berkedip menikmati keagungan ciptaanNya. Nikmat Tuhan manakah yang kudustakan?

Dia sempurna! Se-sempurna yang kubayangkan sejak pertama kali membaca tulisannya!

Dalam balutan kemeja dan jeans warna hitam, tubuhnya terlihat tegap. Matanya tajam, menatap lurus ke arahku, kurasa.

Tuhan, jangan bilang ini mimpi, jangan!

Tanganku mencengkeram lengan J dengan gelisah.

Awhh ... ! Perutku tiba-tiba mulas. Aku pengin pipis, aku pengin pup, aku mau muntah!

Aku berbalik dan berjalan tergopoh-gopoh.

"Aku ke toilet dulu!"

"Ngapain?"

"Panggilan alam!"

Tak kupedulikan J yang menatapku terheran-heran. Kupercepat langkah menuju toilet yang berada di lantai atas.

Setengah berlari, akhirnya bisa juga mencapai tempat ini. Toilet terasa lebih jauh dari biasanya. Padahal area ini wajib buatku setiap kali datang.

Napasku tersengal. Kusandarkan punggung pada dinding toilet pertama yang kutemui. Oh Tuhan Yang Maha Sempurna! Sumpah demi namaMu dan nama-nama yang manusia sandangkan untuk menyebutMu, Jerrico ganteng bangeeeeetttt!

Kuatur nafas perlahan. Detak jantung yang berdegup tak menentu membuatku bertahan beberapa lama.

Aku ingin melonjak-lonjak, tapi lantainya licin. Aku takut terpeleset dan pingsan, terus tidak jadi bertemu Jerrico.

Siluet (Completed)Where stories live. Discover now