Siluet #5: Terjebak (revisi)

479 63 17
                                    

"J tahu aku akan memanggilnya."

***

Aku sedang menyelesaikan suapan terakhir nasi goreng parahyangan pesananku ketika J datang dengan tangan berisi mie rebus cup dan kopi. Tanpa basa basi, dia habiskan semua makanan itu sendiri.

Kuputar bola mata dengan kecewa. Padahal kan, aku ingin praktek pelajaran 'bela diri' yang diajarkan Jerrico: menolak pemberian makanan atau minuman yang diberikan orang asing seperjalanan.

Tapi dia tidak memberikan apapun, bahkan menawarkannya saja pun tidak. Dasar tak sopan!

Oh, iya. Dia kan tahu aku baru saja makan. Nasi goreng ini cukup enak. Walau pasti bukan fresh food, setidaknya sudah dihangatkan dalam microwave sebelum disajikan.

Aku beruntung tidak harus memakan makanan mirip ransum tentara seperti yang diceritakan Mami.

Menurut Mami, makanan di kereta tidak sehat. Expired date-nya saja hampir satu bulan. Kata Mami ia pernah makan nasi goreng maroko yang dimasak lima belas hari yang lalu seperti tertulis tanggal memasak pada kemasan plastiknya.

Aku lupa menanyakan makanan di kereta apa dan kapan Mami mengalaminya. Sepertinya, Mami hanya ingin mempertegas kekhawatiran melepasku pergi seorang diri ke Solo.

"Pak Minto saja yang mengantarmu ya, Sayang?" suara Mami terdengar dari seberang saluran telepon selular tadi pagi.

"Mi, Anggi ini calon wartawan. Mana ada wartawan ke mana-mana diantar jemput sopir?"

Aku harus meyakinkan Mami berulang kali sampai akhirnya Mami menyerah. Dengan syarat: aku harus naik kereta eksekutif yang keamanannya relatif lebih terjamin.

Yah, dan di sinilah aku sekarang. Duduk di kereta bersama cowok tak jelas ini.

Cowok di sebelahku menghabiskan mie rebus cup-nya sambil sesekali menoleh ke arahku. Ia seperti ingin mengajak mengobrol atau apalah, tapi aku memilih diam saja.

Setelah menghirup hot chocolate yang sudah tidak lagi panas karena dingin AC, aku bermaksud memejamkan mata.

Kali ini mengantuk beneran setelah puas mengisi perut.

Tiba-tiba aku tersentak. Ya ampun, aku belum memesan penginapan.

Kulirik layar ponsel. Pukul 22.20. Kereta baru saja melewati stasiun Kebumen. Jika kulihat pada jadwal, tinggal dua stasiun lagi tempat persinggahannya sebelum sampai di tempat yang kutuju. Jika tidak ada perubahan berarti, kereta akan sampai di stasiun Solo Balapan sekitar jam satu dini hari.

Sial! Dasar sial!

Bisa-bisanya aku tidak mempersiapkan pemesanan hotel? Ini benar-benar bukan diriku.

Sudah kubilang kan, sejak aku mengenal Jerrico, aku lupa kalau sebelumnya aku adalah Anggi yang semua keputusannya sangat tertata, terstruktur, penuh persiapan matang.

Baru kemarin aku melihat Jerrico mengunggah lukisan di akun medsos-nya, lalu tiba-tiba aku memutuskan pergi ke tempat lukisan itu dipajang di Solo, sore ini. Tanpa persiapan apapun!

Anggi bego! Benar-benar bego!

Tersisa tiga jam, aku mulai sibuk browsing beberapa aplikasi pemesanan hotel dan penginapan di sekitar Tumurun Museum.

Sialnya, weekend ini semua kamar tertulis sold out. Aku kurang cepat. Ini semua gara-gara sibuk mengurusi jarum pentul dan cowok di sebelahku. Seharusnya aku memesan penginapan saat kereta baru berangkat dan hari masih sore.

"Shit!" aku mendesis kesal.

Padahal dulu aku hanya berani mengumpat dalam hati.

"Ada apa?" J melihatku penuh tanda tanya.

Ia mengangguk-angguk mengerti melihat layar ponsel bertuliskan SOLD OUT yang entah kenapa kutunjukkan dengan pasrah padanya.

"Aku sudah memesan penginapan kemarin. Kamu bisa memakainya nanti. KALAU KAMU MAU," kalimat terakhir terasa menusuk.

Aku menyadarinya dan sukses tersindir. Yah, aku sudah cukup banyak bersikap kasar, tapi dia masih berbaik hati menawarkan penginapan.

Sebelum menerima tawarannya, aku masih mencoba-coba mencari hotel lain. Tapi sepertinya ini memang hari sialku. Kesialan buatku yang tidak mendapatkan kamar, tapi keberuntungan bagi pihak hotel karena kebanjiran tamu weekend kali ini.

Ah, Mami ... aku terjebak sekarang.

Bagaimana ini? Apa aku ikut dengannya saja? Aku tak tahu menahu arah di Kota Solo.

Hei! Bukankah ini seperti yang sering kubaca di novel-novel? Atau film barangkali? Dua orang cewek dan cowok yang baru saja bertemu di suatu tempat, melalui hari yang seru bersama-sama?

Nampaknya J juga bukan cowok jahat meski tadi sempat curcol saat pertama datang. Mungkin tidak apa-apa kalau aku ikut dengannya. Aku yakin bisa menjaga diri jika terjadi sesuatu.

*

Tepat jam satu dini hari kereta berhenti di Stasiun Solo Balapan, tempat yang kutuju dengan ngawur.

Begitu turun, aku celingukan ke kanan dan ke kiri mencoba mencerna arah mata angin namun gagal. Aku memang tidak bisa membedakan barat dan timur tanpa matahari.

Untuk beberapa saat, aku masih duduk di bangku peron. Kutarik nafas perlahan mencoba menengkan diri.

Jujur saja, degup jantungku terasa lebih cepat dari biasanya. Ini biasa terjadi jika aku berada pada situasi tak terduga dan di luar rencana.

J mengemasi ranselnya dan bangkit.

"Tawaranku masih berlaku," cowok itu berkata lirih. Hampir tak terdengar di balik gemuruh suara kereta yang semakin menjauh meninggalkan stasiun.

Kutatap wajahnya lekat penuh ragu.

J tak menungguku lebih lama lagi. Ia membalikkan badan dan mulai berjalan meninggalkan aku yang kini seorang diri. Aku terkesiap. Stasiun mulai sepi.

"J ...!!!?" Aku berlari mengejarnya, "aku ikut."

J berbalik sambil tetap berjalan. Ia berjalan mundur sambil memandangku, berusaha menyembunyikan senyum.

J tahu aku akan memanggilnya.

###

Hai!

Ku cuma mau bilang :

Part depan siap-siap sport jantung. Update hari Selasa.

Udah, gitu aja.

Kiss

Lasmicika

Siluet (Completed)Where stories live. Discover now