Siluet #6: Juna (revisi)

429 55 11
                                    

"Sebenarnya aku ingin tertawa. Bagaimana kalau dia kupanggil A saja?"

***

Penginapan yang sudah dipesan J, terletak 2,2 km dari Solo Balapan. Tepatnya di Laweyan.

Wow! Bukankah ini suatu keberuntungan? Tumurun Museum juga berada di Laweyan, itu yang aku lihat di medsos.

Ketika keluar dari stasiun, sudah ada mobil yang bersiap menjemput J.

Kami berkenalan. Namanya Bisma. Aku mencoba bersikap ramah. Bagaimanapun nasibku malam ini sedang kupertaruhkan, dengan atau tanpa pergi bersama mereka berdua.

Kuikuti langkah keduanya. Memilin-milin tali tas ransel berusaha membuang curiga dan rasa takut yang perlahan menyergap. J berbaik hati menyeret koper kecil tempat ku membawa aneka keperluan bepergian.

Sesampai si mobil, Bisma duduk di belakang kemudi. J ada di sebelahnya sementara aku duduk di bangku belakang. Sepertinya mereka berdua lumayan akrab tapi jarang bertemu. Itu yang kutangkap dari pembicaraan keduanya.

Ah, mungkin mereka saudara? Teman kecil?

Oh, bukan. Mereka membicarakan Kelas Inspirasi Boyolali yang sepertinya belum lama diadakan.

Aku hanya diam menyimak pembicaraan. Aku tidak tahu apa itu Kelas Inspirasi. Besok aku akan browsing untuk mencari tahu.

Tebakanku sih, mungkin semacam komunitas atau apalah. Kok mau-maunya Si Bisma itu datang menjemput malam-malam dan mengantar sampai ke penginapan. Pasti mereka cukup akrab dan loyal.

Aku merasa sedikit lebih tenang.

*

Bisma langsung berpamitan begitu kami sampai di hotel.

J menunjukkan screenshoot bukti pembayaran pemesanan kamar dari layar ponselnya di meja registrasi. Seorang petugas mempersilakan kami menunggu sejenak.

"Kamar 135 atas nama Arjuna," petugas itu menyebutkan nama yang asing. Kulihat J menyambut kunci di tangan petugas hotel tersebut.

Arjuna?

Kami berjalan mengikuti seorang petugas lain yang bertugas mengantarkan tamu.

J menoleh ke arahku yang sedang menatapnya.

"J untuk Juna. Okey? Arjuna," tukas J seperti bisa membaca keherananku.

Aku mengangguk mengerti. Sebenarnya aku ingin tertawa. Bagaimana kalau dia kupanggil A saja? A untuk Arjuna, lebih masuk akal kan?

Uh, sial!

Aa? Itu terdengar seperti nama panggilan untuk seseorang yang khusus dalam bahasa Sunda, misalnya kakak laki-laki, atau pacar, mungkin?

Aku memutuskan tetap memanggilnya J saja ketika menyadari hal itu. Dia kan bukan siapa-siapa aku. Masa dipanggil A?

Aku kan bisa memanggil Aa Jerrico setelah nanti kami resmi jadian. Heheh ....

Kami sampai di depan pintu kamar yang dimaksud. J menyerahkan kunci kamar padaku.

Eh?

"Mau kemana?" tanyaku ketika J berbalik dan bersiap pergi.

"Pakai saja kamarku. Aku bisa tidur di mana saja. Aku kan cowok," ia tersenyum pamer.

Ugh!

"Apa sebaiknya kita ... tidur di sini saja ... mungkin ...?"

What? Apa yang baru saja kukatakan?

Tidur sekamar dengan cowok yang baru saja kukenal? Apa-apaan?

Aku gelisah menyadari keputusan yang sama sekali bukan diriku.

"Menurutmu gimana?" J balik bertanya.

"Yah, ini kamarmu. Aku kan hanya menumpang. Aku bisa tidur di kursi."

Kubuka pintu kamar. Kami berpandangan.

Kamar itu tidak terlalu luas. Tidak ada kursi di sana. Hanya sebuah tempat tidur agak besar dengan sprei putih bersih berselimut merah cerah. Di samping tempat tidur, terdapat sebuah lemari pakaian. Sebuah meja rias berada tepat di depan tempat tidur.

J menggeleng.

"Sebaiknya aku mencari tempat lain untuk tidur malam ini."

Aku terpaku.

Meski aku sering membaca novel tentang dua orang yang baru saja bertemu lalu menghabiskan malam tanpa terjadi apapun dalam satu kamar, namun jika mengalaminya sendiri seperti ini, keadaannya sungguh tidak mengenakkan.

Ini terasa janggal.

"Kalau kamu mau, tidur di sini ngga papa J ...," aku benar-benar tidak enak.

Sudah dini hari begini, dia mau cari di mana tempat untuk tidur?

"Kamu tidak takut diapa-apain?"

Siapa bilang aku tidak takut. Sangat takut malah. Tapi kepalaku menggeleng.

"Kamu kan orang baik. Ngga mungkin jahatin aku ...,"

"Anggi, apa jaminannya aku bisa baik terus sama kamu?"

Aku terdiam. Jelas tak ada jaminan.

"Tapi ... ini sudah hampir jam 2 malam. Kamu mau tidur di mana?" aku bersikeras.

J duduk di bangku yang terdapat pada lorong penghubung kamar. Ia diam memandangiku lama. Mungkin sedang menimbang-nimbang apakah kami benar-benar harus tidur satu kamar malam ini.

Dipandangi seperti itu aku jadi jengah.

Tiba-tiba J bangkit dan berjalan ke arahku yang mematung di depan pintu kamar.

###

Hei...maaf sist, update nya terlambat. Semalam lelah sangad...sampai ketiduran ngga sempat buka watty.

Eh, jangan deg-degan dulu.

Sport jantungnya part berikutnya---à

Yup! Buat menebus keterlambatan kemarin, saya double update hari ini.

Salam hangat

Lasmicika

Siluet (Completed)Where stories live. Discover now