Siluet #16: Anggoro Kasih (revisi)

372 40 10
                                    

"kadang cinta memang semudah itu"

***

Jangan tanya kehidupan seperti apa yang menyelimuti hari-hariku setelah bertemu Jerrico.

Memangnya apa yang lebih baik dari ini? Bertemu dengan orang yang dirindukan siang dan malam, jika kalian jadi aku, apa yang akan kalian lakukan?

Kami menghiasi hari-hari dengan indahnya kebersamaan. Kami? Ciyeee ....

Iko punya kecerdasan hakiki seorang penulis. Bukan sekedar menuliskan khayalan, dia melakukan banyak riset untuk mendalami karakter dalam tulisan-tulisannya. Dia juga mempelajari data yang tak main-main.

Aku semakin mengaguminya. Kecerdasan selalu bisa memesona siapa saja, bahkan untukku yang juga cerdas, gumamku dalam hati.

Kadang cinta memang semudah itu.

Lalu setelah sebulan mengenal dan dia menyatakan ingin berhubungan serius denganku, aku langsung menganggukkan kepala dengan cepat.

Maksudnya, ia ingin jadi pacarku.

Waktu itu kami berada di Dago Tea House, menikmati makan malam di bawah temaram sinar rembulan. Di bawah sana, Bandung malam hari nampak amazing dengan kerlip lampunya. Indah bagaikan hamparan kunang-kunang beterbangan dalam negeri dongeng.

Theater terbuka sedang menyajikan pagelaran dan pembacaan puisi karya beberapa sastrawan kawakan Indonesia. Diiringi instrument musik mendayu-dayu, kadang menghentak seiring intonasi puisi penuh emosi.

Itu adalah momen terindahku. Kutatap mata Iko yang tajam yang juga sedang menatapku. Alisnya sempurna. Kedua pangkalnya bersatu dengan hidung yang juga sempurna.

Ya, malam ini terasa sempurna!

Bibirnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengatup lagi. Bibir yang tidak terlalu tebal itu sanggup melelehkan hati ini sampai tak berdaya hanya dengan segaris senyum.

Apa aku boleh khilaf menciumnya sekarang? Kami sudah resmi pacaran.

Apa? Apa aku seperti cewek gampangan yang dengan mudah menyerahkan diri pada cowok yang baru saja kukenal? Mudah ditaklukkan, heh?

Tidak. Dia tidak melakukannya.

Aku yang membiarkannya menaklukakanku.

Aku berhasil membuka hati dan selangkah lebih maju daripada Mami yang terpenjara oleh cinta. Mami yang tidak mengijinkan hatinya diisi oleh siapapun.

Mami menutup mata bahwa hati manusia seharusnya berada di bawah kendali sang pemilik, bukan sebaliknya. Ia hanya melindungi dirinya sendiri agar tidak tersakiti lagi oleh lelaki lain, dan berharap suatu hari keajaiban akan terjadi.

Harapannya cuma satu, Papi akan menikahi Mami secara resmi dan membawa kembali kebahagiaan yang sempat terenggut darinya.

Faktanya, semakin ia berharap, semakin parah luka di hati Mami. Aku tidak mau menjalani hidup seperti itu. Aku berhak bahagia bersama orang yang aku cintai. Bersama Jerrico.

*

Mami jatuh cinta pada batik. Motif yang paling disukainya adalah batik huk atau lebih dikenal dengan nama batik burung merak.

Mami juga sudah membaca novel Iko yang berjudul Batik Burung Merak.

Sepertinya Iko punya kecintaan yang sama dengan Mami. Mereka langsung cocok sejak pertemuan pertama. Kami datang berkunjung di hari kedua resmi pacaran.

Yang sebenarnya, Mami sangat cinta dengan budaya Jawa. Saat orang lain menghabiskan separuh hidupnya di ibu kota dan sudah kehilangan logat daerah, Mami sengaja bicara dengan nada yang 'dimedok-medokin' khas orang Jawa.

Siluet (Completed)Where stories live. Discover now