Aku Menyukai Malta

Mulai dari awal
                                    

Dia memegang sebatang rokok murahan di tangannya, sambil mondar mandir ke kanan dan ke kiri. Aku sampai pusing melihatnya. Ditambah dengan perutku yang mual, membuatku ingin muntah tepat di wajahnya.

Bernard berada di sampingku. Sama-sama terikat dan tidak bisa berkata apa-apa.

"Jelas sekali kalian tahu mengapa kalian berdua bisa berada di sini, bukan?" Kata orang tersebut. "Aku tidak akan banyak berbasa-basi. Langsung saja ke poinnya. Dimana benda itu sekarang?!" Tanyanya sambil mendekatkan wajahnya kepadaku.

Aku tidak tahu apakah dia bodoh atau gila. Bagaimana mungkin aku menjawab pertanyaannya dengan keadaan mulutku yang disumpal kain.

Aku mendorong badanku ke depan dan berusaha berbicara dengan kain yang masih menghalangi suaraku.

"Oh, tentu saja. Aku lupa dengan itu. Cepat keluarkan kain itu dari mulut mereka!" Perintahnya.

"Apa mereka berdua, Jack?" Kata salah satu dari mereka.

"Apa kau bodoh!" Ucap jack sambil melemparkan rokok yang ia pegang ke tubuh orang itu. "Mereka jadi tahu namaku!" Lanjutnya.

"Maaf, Bos! Maaf! Tadi aku keceplosan." Jelas anak buahnya, memohon untuk diampuni.

"Sudahlah! Cepat keluarkan kain itu dari keduanya!"

"Baik."

Ternyata benar, mereka sedikit bodoh.

Akhirnya mereka melepaskan kain itu dari dalam mulutku. Aku meludah.

"Siapa kau?! Apa yang kau mau?!" Tanyaku dengan kesal.

"Kau tidak perlu tahu. Kami berada di sini bukan untuk berkenalan denganmu. Bukan untuk melakukan kencan buta. Kalian hanya perlu menjawab dimana letak benda itu sekarang? Mudah sekali. Dan jangan sembunyikan apapun dari kami!" Pintanya.

"Tidak akan!" Jawabku dengan suara yang serak. Sebelum mulut kami disumpal, aku dan suamiku berteriak meminta tolong hingga suaraku serak begini dan sayangnya tidak ada yang mendengar atau mungkin mereka hanya pura-pura tidak dengar.

"Lepaskan kami sekarang! Atau-" kata suamiku, Bernard. Rambut ikalnya semakin berantakan saja. Lengan bajunya pun robek karena ia mencoba kabur. Padahal baju itu baru dibelikan ibuku pada perayaan Thanksgiving tahun lalu.

"Atau apa, hah? Cepat katakan! Atau apa?" Sela Jack, "Oh...atau nyawa kedua anakmu terancam. Begitu?"

"Tidak!!! Jangan pernah sentuh anak-anak kami! Dasar otak udang! Kalian bahkan tak pantas menjadi seorang penjahat. Lebih baik kalian menjadi badut panggilan saja! Tampang kalian lebih cocok," kataku dengan lantang. Entah mengapa aku selalu merasa lebih berani dalam membela kedua anakku.

"Oh...tampaknya kau mulai berani macam-macam, ya!" Kata Jack dengan tatapan sinis. "Apa kita siksa saja mereka?" Jack meminta saran kepada bawahannya.

"Sejak kapan aku takut padamu!" Kataku dengan berani. "Orang sepertimu tidak layak untuk ditakuti." Aku menatap ke arah Bernard. Ia menggelengkan kepala sebagai tanda: Sudah! Jangan sok jago! Diam saja!

Jack mengayunkan kepala, memberi tanda kepada bawahannya. Tiba-tiba seseorang mendekatiku dan menusukkan sesuatu di pundakku.

"Aw! Apa yang kalian laku-" Aku tidak sempat melanjutkan perkataanku setelah cairan anestesi mengalir dalam darahku hingga membuatku tak sadarkan diri.


***


[MALTA]

Aku tak pernah mengerti. Apa maksud Jason meninggalkanku seperti ini? Dia selalu bertindak sendiri. Memangnya apa yang ia pikirkan?

Aku selalu bertanya padanya, tetapi ia malah terus menghindar. Padahal, aku hanya ingin membantunya. Memikirkan hal itu hanya membuat kepalaku pusing. Apa lagi, keadaan saat ini hanya bisa bertambah buruk saja. Aku sudah cukup muak dengan semua ini!

Jika dipikir-pikir, dia tetaplah kakakku satu-satunya. Jika bukan aku yang membantu, maka siapa lagi yang bisa? Aku harus membantunya. Ya, aku harus membantunya! Aku akan mencoba untuk menghubungi Austin.

Panggilan terhubung.

Ia menjawab, "Halo, Malta. Ada apa?"

"Mmm...begini, Austin. Apa kau ada di sekolah? Bisa tidak kau datang kerumahku? Aku butuh bantuanmu!" Pintaku padanya.

"Minta bantuan apa?"

"Ini tentang kakakku, Jason. Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan di rumah. Bisa, kan?"

"Maaf, Malta. Bukannya aku tak mau membantumu. Tetapi aku sedang ada urusan yang sangat penting dan tidak bisa dilewatkan," jelasnya. "Apakah ini sangat mendesak? Apa kakakmu kecelakaan?"

"Tidak terlalu, sih. Hanya saja, sepertinya dia kabur dari rumah."

"Kabur? Bagaimana kalau kau telepon polisi dulu? Nanti kabari aku lagi! Jika ada waktu aku akan segera ke sana."

"Oh...oke. Baiklah kalau begitu. Maaf mengganggumu."

"Tidak apa-apa. Tenang saja! Jika tidak ada yang dibicarakan lagi...sudah dulu, ya? Aku sedang sibuk sekali, Malta. Maaf. Sampai nanti!"

"Sampai nanti."

Pip... Panggilan terputus.

Larry tak bisa dihubungi. Austin pun sibuk. Aku harus minta bantuan siapa lagi? Atau mungkin aku harus meminta bantuan dari temanku yang lain?

(Suara ponsel berdering)

Baru saja aku menekan tombol di ponselku, satu panggilan masuk.

Ini dari Larry!

"Halo, Malta!" Sapa Larry.

"Larry!!! Dari tadi aku mencoba menghubungimu, tetapi tidak bisa terhubung! Apakah baterai ponselmu habis?"

"Bukan. Tadi ponselku ketinggalan di rumah. Aku ingin menanyakan kabarmu. Apa kamu baik-baik saja?"

"Oh...pantas saja! Ya, aku baik-baik saja. Oh ya, Larry, aku butuh bantuanmu!"

"Lalu kenapa kamu tidak masuk sekolah? Bantuan apa?" Ia balik bertanya.

"Justru itu! Aku sudah izin kepada wali kelas agar bisa menjaga Jason di rumah," jawabku.

"Memang Jason kenapa?"

"Terakhir kali aku mengecek suhu badannya, badannya terasa hangat. Sepertinya dia terkena demam. Akhir-akhir ini dia juga keliatan punya banyak masalah. Namun, setiap kali aku bertanya padanya, dia tidak mau menjawab. Membuatku kesal saja!" Jelasku, "Belakangan ini dia juga bersikap sangat aneh. Dia sering kali pulang malam. Tadi malam, dia bahkan pulang dengan wajah yang memar dan penuh luka. Tetapi, dia tidak memberitahuku penyebabnya. Dan yang lebih mengejutkan, pagi ini dia menghilang secara tiba-tiba. Padahal aku hanya meninggalkannya untuk beberapa saat saja. Aku juga bingung dengan kedua orang tuaku. Kenapa mereka belum juga kembali dari tugasnya? Tolong aku, Larry! Aku lelah sekali. Aku tidak bisa mengatasi semua ini sendiri. Banyak hal yang harus aku pikirkan. Aku sangat membutuhkanmu saat ini!" Lanjutku.

Aku hanya bisa memohon padanya. Berharap dia akan datang dan melupakan masalah antara kami berdua belakangan ini. Larry adalah satu-satunya yang bisa aku andalkan saat ini.

"Oke. Lebih baik kau tenangkan dirimu dahulu! Aku akan segera pergi ke sana!"

"Terimakasih, Larry! Terimakasih banyak! Aku menyayangimu."

"Tunggu! Kau bilang apa!!!"

Aku menutup panggilan.

AMBISIUS : My Brother's Enemy [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang