Suasana masih hening, hanya gemuruh suara ombak dan deru angin yang terdengar. Tapi aku merasa ada isyarat antara Kak Deva dengan Citra, seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi penuh keraguan.

“Kak Deva... apa Kakak bener-bener mencintai aku?” tanyaku kepada Kak Deva sekaligus memecah keheningan.

Tapi Kak Deva malah diam, pandangannya malah tertuju ke arah Citra.

Aku pun tersenyum melihat itu. Tangan kiriku meraih tangan Citra, dan tangan kananku meraih tangan Kak Deva. Lalu, ku satukan tangan mereka di hadapanku. Tapi mereka hanya bengong.

“Nin...” ujar Citra heran.

“Jangan biarkan aku jadi sahabat yang paling jahat di dunia, Cit...” kataku kepada Citra.

Citra dan Kak Deva masih terdiam, terlihat mimik wajah mereka yang tak mengerti dengan maksud perkataanku.

“Maksud lo apa, Nin?”

“Sebagai seorang sahabat, kamu terlalu baik Cit. Nggak seharusnya kamu lakuin semua ini untuk aku, aku bener-bener ngerasa jadi orang yang nggak punya hati. Aku bener-bener minta maaf, Cit... gara-gara aku sakit kamu harus ngorbanin perasaan kamu seperti ini.”

“Tunggu, Nin... maksud lo apa? Gue...” ujar Citra bingung.

Aku pun menjelaskan kepada Citra, kalau aku sudah tahu semuanya. Kak Deva tidak akan mungkin mencintai aku. Karena Kak Deva adalah pacar Citra yang telah bersama selama lima tahun. Sebelum aku terjatuh dan kondisiku kritis, saat itu aku sempat berjalan menuju pintu kamar dan mendengarkan obrolan serius antara Kak Deva dan Citra di balik pintu. Betapa syok-nya aku saat itu, ketika mendengar bahwa orang yang selama ini aku cintai itu adalah pacar sahabatku sendiri.

Semuanya langsung berubah. Seketika muncul dalam pikiranku, kalau Tuhan itu tidak adil. Kenapa harus mencintai bila akan disakiti? Kenapa harus merasakan bahagia bila akhirnya dikecewakan? Dan kenapa harus Citra yang jadi pacar kak Deva? Semua itu mendadak muncul begitu saja di dalam benakku. Rasanya aku kehilangan semangat untuk bertahan hidup. Hidupku benar-benar sudah tidak ada gunanya lagi.

Aku kembali berjalan menuju ke tempat tidur diiringi tangis. Aku masih percaya tak percaya akan apa yang baru saja aku dengar dan ketahui. Karena darah yang keluar dari tanganku cukup banyak akibat mencabut paksa selang infus, dan rasa sakit yang muncul menyerang bagian kepalaku cukup hebat. Membuat aku kehilangan keseimbangan dan menyenggol tiang infus sampai terjatuh bersamaan dengan tubuhku ke lantai. Hingga akhirnya kak Deva dan Citra masuk sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri dan kritis.

Mendadak air mata Citra menetes setelah mendengar penjelasanku, Citra seperti tidak tahu apa yang harus ia katakan saat itu.

“Maafin aku ya, Cit!” ujarku merasa bersalah. “Aku mohon kalian kembali, jangan biarkan aku jadi penghalang. Cinta kalian terlalu berharga untuk dipisahkan,” kataku sambil menyatukan tangan Kak Deva dan Citra. “Kak... janji sama aku! Jangan pernah lakuin hal bodoh kaya gini lagi, ya! sekalipun Citra yang minta. Kakak harus jaga Citra, ya!” pintaku pada Kak Deva.

“Iya, Nin... aku pasti bakal jaga Citra. Maafin aku, Nin. Karena aku udah takut untuk jujur dan menceritakan semuanya. Aku sama sekali tidak bermaksud mempermainkan perasaan kamu,” kata Kak Deva.

Aku tersenyum kepada Kak Deva sambil menganggukkan kepala.

“Nggak apa-apa, Kak... aku ngerti posisi Kakak.”

“Tapi, Nin... lo lebih...” belum selesai Citra bicara aku langsung menyuruhnya untuk berhenti, dengan meletakkan jari telunjukku di depan bibirnya sambil tersenyum.

“Suutttttt.... Ketulusan hati kamu dan pengorbanan cinta kamu sudah cukup, Cit. Cukup buat aku. Dengan ketulusan dan pengorbanan yang udah kamu lakukan selama ini, cukup bikin hidup aku yang singkat ini terasa indah. Secara tidak langsung kamu sama Kak Deva udah ngajarin aku bagaimana rasanya jatuh cinta. Dan dengan kejadian ini pula, kalian ngajarin aku gimana rasanya sakit hati dan kecewa. Tapi... kalian lupa ngajarin aku satu hal, kalau cinta itu tak harus memiliki. Bukan begitu?” Aku tersenyum. Tapi Citra malah menangis sambil memelukku.

“Janji, ya! Apapun yang terjadi. Kalian harus tetap bersama,” pesanku kepada Kak Deva dan Citra, lalu mereka pun menganggukkan kepala secara bersamaan, dan aku pun bisa tersenyum lega tanpa ada lagi yang mengganjal di hati ini.

Nampaknya hari sudah hampir gelap, tugas matahari untuk menerangi bumi hari ini pun sudah hampir selesai. Dengan tubuh yang mulai lemas, aku sandarkan kepala ini di bahu Citra, sambil memandang Matahari yang perlahan-lahan akan tenggelam.

“Kalau nanti aku pergi, sisain sedikit tempat di hati dan pikiran kalian untuk aku, ya! Biar kalian selalu ingat, bahwa aku sempet hadir di hidup kalian.”

“Kamu ngomong apa sih, Nin. Kamu nggak akan pergi. Kita akan sama-sama terus, iya kan, Cit?” kata Kak Deva.

Citra menganggukkan kepala sambil mencoba menahan kesedihannya.

“Kak... setiap manusia yang terlahir ke dunia, pasti akan kembali lagi pada Sang penciptanya. Kematian adalah hal yang pasti, dia sudah memiliki waktu yang tepat kapan dia akan datang. Seperti halnya matahari, yang sudah mempunyai waktu yang tepat kapan ia harus terbit dan kapan ia akan tenggelam,” kataku tersenyum.

Citra dan Kak Deva semakin menggenggam erat tanganku.

“Mataharinya udah mulai tenggelam. Indah ya, Nin...” ujar Citra.

Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum menikmati keindahan langit senja, dengan matahari yang perlahan-lahan akan tenggelam, membuat langit senja itu semakin terlihat indah oleh bias cahayanya.

"Tuhan... hidup singkat yang Kau berikan ini sangat indah untukku. Dengan takdirku seperti ini, Kau hadirkan orang-orang yang begitu menyayangiku. Terimakasih karena Kau telah hadirkan cahaya untuk menerangi hidupku yang gelap. Tuhan... bila kisahku harus berakhir hari ini. Aku sama sekali tidak akan pernah menyesal, karena apa yang aku inginkan semuanya telah aku dapatkan."

"Tuhan... ternyata memang benar. Tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini. Selalu ada makna dari setiap rencana-Mu. Selalu ada hikmah dari setiap ujian-Mu. Kau telah menciptakan semua secara berpasang-pasangan. Seperti halnya sebuah pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Terimakasih untuk semua ini, terimakasih untuk hari yang indah ini, Tuhan."

Matahari mulai meninggalkan bumi, dan dengan bersamaan tubuhku melemas, mataku terpejam dengan tenggelamnya matahari di senja hari ini. Rasa sakit itu pun hilang seketika. Namun telinga ini masih mendengar tangis Citra pecah, saat mengetahui tubuhku yang tergulai lemas di tangan Citra dan Kak Deva.

“Nin... bangun, Nin!” ujar Citra mencoba membangunkanku.

Dan sepertinya setelah mendengar tangis Citra, Bunda, Kak Hans, Kak Sandra, Friska dan Ririn, mereka tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya dan langsung menghampiriku. Dengan sigap Kak Hans langsung mengecek kondisiku. Aku masih bisa merasakan saat Kak Hans menyentuh nadiku, dan setelah itu Kak Hans langsung membawaku pergi dari tempat itu diikuti Bunda, Kak Sandra, dan sahabat-sahabatku, juga Kak Deva.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang