part-4

1.4K 52 0
                                    

Pagi harinya, tubuh ini mulai terasa membaik. Meski selang infus dan selang oksigen masih menempel di tangan dan lubang hidungku. Saat itu, sekitar pukul 06:00 pagi. Rasanya aku ingin bangun dari tempat tidur, lalu bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Meski baru satu minggu tidak masuk kuliah, aku merasakan kerinduan yang begitu besar kepada ketiga sahabatku, Citra, Friska, dan Ririn. Meski bagi mereka aku ini adalah teman yang baru menjadi sahabatnya selama enam bulan belakangan ini, tapi mereka tak pernah membeda-bedakan aku. Mereka selalu terbuka tentang semuanya, seakan-akan aku ini sudah menjadi teman mereka selama bertahun-tahun. Namun, tubuhku yang lemas ini menjadi hambatan, dengan terpaksa aku harus tetep ada di rumah, dan terbaring di atas tempat tidur.

Saat aku mencoba untuk duduk, tiba-tiba Bunda masuk dan langsung menghampiri, lalu menyuruhku untuk tetap berbaring.

“Sayang ... kamu mau ngapain? Jangan banyak bergerak dulu ahh,” kata Bunda sedikit panik.

“Hanin cuman pengen duduk aja, Bun. Tapi kok badan Hanin lemes banget ya, Bun? Dada Hanin juga terasa sesak?”

Tiba-tiba Bunda menatap wajahku aneh, Bunda genggam tanganku lalu beliau cium sambil meneteskan air mata, dan berulang mengusap rambutku dengan tatapan tak biasa. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Bunda saat ini, sehingga membuatnya menangis. Namun, aku bisa merasakan ada kesedihan di dalam hati Bunda. Entah apa itu, yang jelas sikap Bunda memperlihatkan seperti tak ingin aku mengetahuinya.

“Bunda sayang ...” ujar ku sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya. “Bunda nggak boleh sedih gitu ahh. Hanin baik-baik aja kok Bun, apa yang Hanin rasain sekarang ini tidak terlalu berarti. Nanti juga bakal kembali seperti semula. Bunda jangan sedih! Bunda tau kan kalau Hanin kuat? Hanin pasti sembuh Bun,” lanjut ku sambil tersenyum penuh keyakinan.

Namun, air mata Bunda malah semakin banyak menetes, dan Bunda langsung memelukku erat.

“Iya Sayang, iya. Kamu emang harus sembuh! Kamu, harus sembuh sayang ... harus!” ujar Bunda sambil menatap wajahku lalu mencium keningku.

Dari tatapan dan sikap Bunda, aku bisa melihat ada sesuatu yang aneh. Entahlah, aku merasa ada sesuatu hal yang sedang Bunda sembunyikan dariku. Karena setelah itu Bunda langsung pergi meninggalkanku, dengan air mata yang masih berjatuhan dari kelopak matanya.

Kriiiinnngggg

Aku terkejut! Nada dering handphone membuatku yang sedang melamun jadi kaget. Tangan kananku langsung meraih telepon genggam yang aku simpan di sebelah kiri bantal yang aku tiduri. Langsung kulihat layar handphoneku, di situ tertera panggilan masuk dari Citra.

“Citra ...” gumam ku saat mengetahui kalau Citra yang menelpon.

Langsung ku gerakan jempol tanganku dengan menyentuh gambar telepon berwarna hijau di ponselku, kemudian aku geser ke sebelah kanan dan langsung ku tempelkan handphoneku di telinga sebelah kanan.

“Iya halo Cit ... emm ... kayaknya hari ini aku nggak akan masuk kuliah lagi deh. Iya, tapi urusan aku belum selesai. Iya, iya, kalau udah beres pasti aku masuk kok. Iya Cit, aku juga kangen sama kalian. See you guys.” Aku akhiri obrolanku dengan Citra. Namun, setelah itu ada sedikit rasa yang membuat aku merasa tidak nyaman.

“Maafin aku, Cit,” ucapku.

Hati merasa tidak enak. Karena aku sudah membohongi sahabat-sahabatku tentang keadaan yang sebenarnya. Aku hanya tidak mau kalau mereka tahu sahabat barunya ini ternyata penyakitan. Dan aku juga tidak mau kalau mereka meninggalkan aku atau mereka mengasihani aku. Aku hanya ingin terlihat normal, layaknya orang biasa di hadapan mereka.

Aku pikir ketiga sahabatku akan percaya dengan apa yang ku ucapkan di telepon, ternyata tidak. Citra, Friska dan Ririn mencurigai ada sesuatu dibalik absennya aku beberapa hari ini di kampus.

“Gimana, Cit? Tuh anak bakal masuk nggak hari ini?” tanya Ririn kepada Citra yang baru saja menyimpan ponselnya setelah menghubungiku.

“Nggak akan katanya Rin,” jawab Citra.

“Tuh anak sebenernya kenapa sih? Atau lagi ngapain gitu? Masa iya bolos kuliah terus," ujar Ririn.

“Dia bilang sih urusannya belum selesai gitu.”

“Ya mungkin bener tuh apa yang Hanin bilang sama lo, Cit. Dia emang bener lagi ada urusan,” ujar Friska.

“Tapi gue ngerasa ada yang aneh deh.”

Kata mereka, saat itu juga mereka tidak tinggal diam. Hal pertama yang mereka lakukan adalah mencari alamat rumahku. Karena meski sudah enam bulan lebih kita berteman, aku sama sekali belum pernah mengajak mereka main ke rumah. Wajar saja bila mereka tidak tahu sama sekali dimana alamat rumahku. Mereka pun mencoba untuk mencari alamat rumahku di biodata mahasiswa di kampus.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now