Part 4

993 37 0
                                    

Tidak lama kemudian, Bunda duduk tepat di sampingku yang masih terbaring setelah kejadian tadi. Aku kembali mengenakan oksigen, tanganku pun mengenakan infusan, agar tubuhku tidak terlalu lemah karena masih membutuhkan banyak cairan. Aku melihat Bunda menangis di hadapanku. Sepertinya Citra telah menyampaikan permintaanku kepada Bunda.

“Sayang, Bunda mohon jangan siksa Bunda kaya gini! Bunda mohon...” pinta Bunda menangis.

“Bun... Hanin baik-baik aja, kok. Hanin mohon ya, Bun!” pintaku.

“Bunda takut, Sayang. Bunda nggak berani.”

“Bun... penyakit Hanin itu udah nggak mungkin bisa disembuhkan. Entah hari ini, besok, atau lusa, kemungkinan terburuk itu pasti akan terjadi. Dan bila saat itu tiba, Bunda nggak mau kan kalau Hanin pergi dengan penyesalan, karena satu lagi keinginan Hanin belum terwujud. Hanin mohon, Bun... untuk yang terakhir.”

Bunda malah menangis sambil menciumi tanganku usai aku berbicara seperti itu.

“Kamu tega ninggalin Bunda sendiri? Kamu tega bikin hati Bunda hancur?”

“Bun, apa Bunda lupa. Kalaupun Hanin harus pergi, bukan berarti Bunda sendiri. Bunda masih punya kak Hans sama kak Sandra. Bunda nggak kesepian, dan Hanin yakin kalau Bunda itu kuat. Tapi Bunda tenang aja, Hanin janji nggak akan pernah pergi ninggalin Bunda. Nggak akan, Bun.” Tapi aku malah menangis, dan Bunda pun memelukku erat.

Setelah mendapatkan izin dari Bunda, kak Hans dan tante Dewi. Akhirnya Citra berhasil membawaku ke pantai, untuk memenuhi keinginanku melihat matahari tenggelam. Karena selama ini aku hanya bisa melihat proses matahari terbit, itu pun dari balkon kamarku saja.

Setibanya di pantai, sebelum keluar dari mobil, kak Hans melepas dulu infusan yang masih menempel di punggung tangan kiriku. Lalu menutupnya dengan perban dan sedikit perekat. Namun alat pernafasanku yang sudah rusak, membuatku tidak boleh melepaskan selang oksigen di hidungku. Setelah itu, aku meminta Citra dan kak Deva membawaku ke pinggir pantai. Namun, tiba-tiba aku melihat Bunda menangis. Lalu aku tersenyum dan menghapus air mata di pipi Bunda.

“Hanin pasti baik-baik aja, Bun...” kataku meyakinkan Bunda.

Bunda sama sekali tidak mengucapkan satu patah kata pun, aku hanya melihat air mata yang terus mengalir membasahi pipi Bunda. Aku mengerti akan rasa takut dan ke-khawatiran Bunda kepadaku saat ini. Namun, aku tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Karena ada sesuatu hal yang lebih penting dari sekedar melihat matahari tenggelam yang harus aku selesaikan. 

Sebelum aku keluar dari mobil, entah kenapa aku ingin sekali menatap wajah Bunda cukup lama, lewat pandangan mataku yang mulai buram. Mungkin perlahan aku akan mulai kehilangan penglihatanku. Tapi kumohon Tuhan, jangan dulu kau ambil kemampuanku untuk berbicara. Masih ada yang harus aku sampaikan sebelum semuanya terlambat. Setelah cukup lama menatap wajah Bunda, aku langsung mencium tangan Bunda. Cukup lama kucium tangan Bunda, lalu ku lanjutkan mencium kening Bunda, dan setelah itu aku peluk erat Bunda sambil mengatakan.

“Hanin sayang banget sama Bunda. Terimakasih sudah menjadi Bunda terhebat untuk Hanin.”

Bunda sudah tidak bisa menahan lagi kesedihannya, Kak Sandra yang saat itu ada di samping Bunda mencoba menenangkan Bunda.

“Jagain Bunda ya, Kak!”

Kak Sandra menganggukkan kepalanya sambil menahan tangis. Aku berusaha melemparkan senyuman kepada Bunda dan Kak Sandra. Lalu, aku meminta Kak Deva membawaku yang sudah tidak sanggup berjalan untuk pergi ke pinggir pantai, bersama Citra yang memegang tabung oksigen kecil yang harus aku gunakan.

Sementara Bunda, Kak Hans, Kak Sandra, Friska dan Ririn yang ikut juga, hanya melihat aku dari kejauhan.

Aku, Citra dan Kak Deva pun duduk di atas pasir pantai dengan ombak di laut yang cukup besar, sehingga membuat angin berhembus cukup kencang. Kak Deva membuka jaket yang ia kenakan dan menyelimuti kakiku agar tidak kedinginan.

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now