Part 4

710 27 0
                                    

Saat malam tiba, aku terbangun dari tidurku karena aku mendengar Kak Sandra yang ternyata masih setia menemaniku tiba-tiba menangis. Aku pun bangkit dari posisi tidurku, dan aku memandang wajah Kak Sandra sambil bertanya.

“Heyy... Kakak kenapa? Kok nangis?” tanyaku heran.

Tapi Kak Sandra hanya diam, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.

“Kakak pasti cape ya karena harus ngejagain aku terus kaya gini?”

Lagi-lagi Kak Sandra bungkam, dia menjawab pertanyaanku hanya dengan menggelengkan kepalanya saja. Aku semakin bingung mencari sebab, kenapa Kak Sandra bersedih.

“Kak, Kakak kenapa? Kak Sandra, jawab! Jangan buat aku bingung kaya gini dong, Kak.”

Kak Sandra sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaanku. 

Saat tangan Kak Sandra menghapus air mata di pipinya, aku meilhat pergelangan tangan Kak Sandra merah. Mungkin lebam itu ada saat aku memegang erat tangan Kak Sandra tadi siang.

“Ya Allah, Kak... tangan Kakak pasti sakit ya?” ujarku sambil meraih tangan Kak Sandra yang lebam. “Maafin aku ya, Kak,” ujarku merasa bersalah.

Namun Kak Sandra malah menggelengkan kepala, lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju sebuah laci yang berada tidak jauh dari tempat tidurku. Kak Sandra mengambil sesuatu kemudian kembali menghampiriku. Kak Sandra menyodorkan barang kepadaku yang ternyata sebuah gunting. Aku hanya diam, aku sama sekali tidak mengerti maksud dari Kak Sandra memberikan gunting ini kepadaku.

“Gunting? ... buat apa, Kak?”

Kak Sandra menghapus air matanya dan mencoba menenangkan diri. Aku berharap kali ini Kak Sandra mau menjawab pertanyaanku yang semakin bingung dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan Kak Sandra.

“Kakak emang nggak bisa ngerasain sakit yang kamu rasain, De. Bahkan sakit di tangan ini pun tak sebanding dengan rasa sakit yang selalu kamu rasakan saat penyakit itu menyerang. Tapi Kakak nggak mau kamu ngejalanin ini sendiri. Kakak sayang sama kamu De, Kakak pengen kita ngejalanin ini sama-sama."

"Kamu bisa pake gunting itu buat mangkas rambut Kakak, setidaknya Kakak bisa ngerasain hal yang sama kaya kamu, De. Ayo! potong rambut Kakak sampe abis! Ayoo, De!” ujar Kak Sandra memaksaku diiringi air mata yang kembali terjatuh membasahi pipinya.

Mendengar itu aku pun tidak bisa menahan air mataku untuk tidak menetes.

“Enggak Kak, Kakak nggak perlu lakuin itu!” bantahku sambil meletakkan gunting yang saat ini aku pegang di atas tempat tidur.

“Aku tau Kakak sayang sama aku, Kakak nggak tega kan ngeliat aku kaya gini? Tapi kalau Kakak samaan kaya aku, nanti rambut siapa yang akan Bunda belai, Kak?” kataku yang malah semakin membuat Kak Sandra sedih, tapi aku mencoba untuk tegar di hadapan Kak Sandra.

“Kakak harus tetap jadi anak tercantiknya Bunda, biar aku aja yang kaya gini Kak. Kakak harus sehat! Kakak harus selalu temenin Bunda. Ya Kak! Kakak nggak boleh kaya aku! Nggak boleh Kak...”

Kak Sandra langsung memelukku begitu erat, tangisku pun pecah. Aku hargai niat baik Kak Sandra kepadaku. Namun, aku sama sekali tidak ingin berbagi penderitaanku kepada siapapun, apalagi kepada Kak Sandra.

***

Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku, suasana cukup hening. Pastinya aku tidak tahu pukul berapa saat itu, yang jelas kedua mata ini langsung berarah ke samping kanan, dimana aku melihat Kak Sandra sedang tertidur cukup pulas di sofa.

Perlahan aku angkat tubuh ini, untuk mendapatkan posisi duduk. Lalu, kubuka selimut yang menyelimuti setengah bagian badanku. Aku bermaksud ingin memberikan selimut itu untuk Kak Sandra, karena Kak Sandra pasti kedinginan tidur di sofa.

Namun, seketika mataku terbelalak saat melihat kasur yang aku duduki basah. Apa aku buang air kecil di tempat tidur? Kenapa aku tidak merasakannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiba-tiba muncul di dalam isi kepala. Aku benar-benar tidak bisa mempercayai ini.

"De, kenapa?" tanya Kak Sandra sekaligus membuyarkan pikiranku.

Aku sama sekali tidak menyadari kehadiran Kak Sandra yang saat ini ada di sampingku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Kak Sandra, lalu aku menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Namun Kak Sandra malah melemparkan senyumnya kepadaku, setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Udah nggak apa-apa, nanti Kakak ganti. Sekarang kita ke kamar mandi dulu ya!" ajak Kak Sandra begitu lembut.

"Maafin aku, Kak..." rengekku.

Tapi Kak Sandra tetap saja tersenyum. Perlahan Kak Sandra meraih tanganku dan membantuku beranjak dari tempat tidur. Lalu memapahku berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.

Beberapa menit kemudian, setelah selesai membersihkan badan dan mengganti pakaianku. Kak Sandra menyuruhku duduk di sofa, sementara dia sedang sibuk mengganti sprai tempat tidurku. Sedih rasanya, melihat Kak Sandra seperti ini. Aku sudah terlalu sering merepotkannya, aku bahkan sudah mengganggu waktu istirahatnya. Seketika air mataku menetes, untuk mewakili rasa bersalahku kepada Kak Sandra.

Perlahan aku beranjak dari dudukku, maksudku ingin membantu Kak Sandra. Tapi entah kenapa tubuh ini terasa berat. Setelah cukup susah payah hanya untuk beranjak dan berdiri, aku mencoba melangkahkan kaki, namun entah kenapa kaki ini pun terasa berat. Hingga akhirnya Kak Sandra menoleh ke arahku saat ia baru saja selesai membereskan tempat tidurku.

"Ayo, De! Sekarang kamu bisa istirahat lagi," kata Kak Sandra.

Kali ini aku melempar senyum dibalik usahaku melangkah kaki, yang merupakan hal mudah namun mendadak sukar untukku lakukan. Sampai akhirnya Kak Sandra berinisiatif menghampiriku, lalu memapahku. Jarak sofa ke tempat tidur yang hanya beberapa langkah saja, terasa sangat jauh saat itu. Namun Kak Sandra masih tetap setia mendampingiku. Hingga akhirnya aku sampai juga di tempat tidur.

"Makasih ya Kak," kataku saat sudah dalam posisi nyaman di atas tempat tidur yang kini sudah rapi kembali berkat Kak Sandra.

"Iya, De. Sekarang kamu tidur lagi ya! Masih jam 2 pagi loh," kata Kak Sandra sambil tersenyum.

Aku berusaha membalas senyuman Kak Sandra. Tapi entah kenapa aku malah ingin menangis. Dan sampai saat Kak Sandra akan beranjak pergi, aku langsung beranjak dari posisi tidurku dan langsung meraih tubuh Kak Sandra, lalu kupeluk erat. Tangisku pecah mengiringi suasana hening pagi itu. Mungkin Kak Sandra tidak tahu pasti apa penyebab kesedihanku, tapi seolah tahu Kak Sandra mencoba menenangkanku dengan mengelus punggungku dengan penuh kasih.

Tangisku semakin keras terdengar, seolah-olah mewakili semua yang tidak bisa aku ungkapkan. Bohong kalau aku tak sedih, bohong kalau aku tidak takut. Aku sedih karna perlahan kondisiku mulai memburuk, dan aku takut kalau penyakit ini semakin parah lalu aku akan menyusahkan Bunda, kakakku dan semua orang disekelilingku.

Kak Sandra tidak mengatakan apapun kepadaku, sepertinya Kak Sandra memang sengaja membiarkan aku meluapkan semua yang aku rasakan lewat tangisku. Hingga akhirnya Bunda dan Kak Hans masuk ke dalam kamarku. Mungkin tangisku yang cukup keras berhasil mengusik waktu istirahat mereka.

Bunda langsung mengampiriku yang perlahan melepaskan pelukan Kak Sandra saat menyadari kedatangan Bunda.

"Bunda..." rengekku sambil meraih tubuh Bunda dan kupeluk erat.

"Sayang," respon Bunda sambil mendekapku dan mengelus kepalaku dengan lembut.

Dan mulai saat itu aku kembali meluapkan tangisku di dalam pelukan Bunda. Sementara Kak Hans dan Kak Sandra hanya menyaksikkan dengan perasaan yang tidak menentu. Sampai akhirnya tubuhku merasa lemas dan Bunda membaringkan tubuhku. Setelah Kak Hans memasang infus di tangangku, Kak Hans dan Kak Sandra keluar dari kamarku. Karena Bunda yang akan menemaniku tidur kali ini, tepat di sampingku.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now