Part 3

712 27 0
                                    

Hari ini cukup cerah, meski kondisi tubuh ini mulai menurun. Tapi semangatku tidak boleh ikut menurun, seperti Matahari pagi ini yang begitu bersemangat menerangi Bumi.

Kak Hans masuk menghampiriku yang baru saja selesai meminum obat. Meskipun akan berpengaruh pada ingatanku, tapi aku sadar aku tidak mungkin berhenti mengkonsumsi obat penahan rasa sakit itu.

Kak Hans mencium keningku lalu duduk di sampingku. “Selamat pagi adik cantiknya Kakak," sapa Kak Hans sambil tersenyum.

“Selamat pagi dokter tampannya aku,” balasku sambil tersenyum, Kak Hans pun ikut tersenyum lagi.

“De... sesuai yang Kakak bilang, nanti siang kamu ada jadwal kemo lagi. Udah siap kan, Sayang?" tanya Kak Hans.

Aku belum menjawab pertanyaan Kak Hans. Mimik wajahku langsung berubah, lalu aku malah menyenderkan tubuh ini ke bahu Kak Hans.

“Heyyy... ada apa De?” tanya Kak Hans heran sambil mengelus-ngelus rambutku yang mulai menipis, lebih tepatnya hampir botak.

“Kalau Hanin nggak mau kemo, nggak apa-apa kan, Kak?”

“Kenapa? Kemo itu penting, De. Untuk saat ini, kemo jalan satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk memperlambat penyebaran penyakit kamu, Sayang.”

“Tapi Kak, efek obatnya pasti jauh lebih buruk dari obat-obatan yang selama ini Hanin minum. Hanin takut, Hanin nggak mau Kak,” rengekku.

“Kakak ngerti, De. Tapi Kakak nggak tau lagi harus ngelakuin apa, cuma itu satu-satunya yang bisa membantu." Kak Hans terdiam sejenak. "Maafin Kakak ya Sayang... Kakak nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi untuk ngusir penyakit kamu itu. Kakak minta maaf, kalau cara seperti ini malah bikin kamu semakin menderita De,” kata Kak Hans penuh rasa bersalah.

Mendengar itu, hatiku cukup tertusuk. Tidak ada sedikitpun niat untuk membuat Kak Hans menyalahkan dirinya seperti itu. Mungkin aku yang tidak tahu diri, karena tidak bisa menghargai orang yang sudah mati-matian merawat aku sampai bisa bertahan sejauh ini. 

Aku pun langsung memeluk erat Kak Hans dan meminta maaf padanya. Mulai detik ini aku berjanji, akan menjalankan pengobatan apapun yang Kak Hans dan tante Dewi sarankan, karena itu demi kesehatan aku juga.

Beberapa hari pun berlalu, aku jadi semakin sering melakukan serangkaian terapi, fisikku pun semakin hari semakin berubah. Kali ini pengaruh obat cemoterapy membuat berat badanku semakin turun, sering muntah-muntah, bahkan kepala ini sekarang jadi pelontos tanpa ada sehelai rambut pun yang tersisa. Namun, demi bertahan untuk Bunda, aku rela menjalankan pengobatan apapun yang disarankan tante Dewi agar aku tetap bertahan hidup.

Meski efeknya sangat buruk pada tubuhku. Tapi aku harus kuat, selama aku bisa mengenali dan selalu ada di samping orang-orang yang aku sayangi, itu tak masalah bagiku. Walaupun ada yang kurang, karena akhir-akhir ini Bunda jarang sekali mendampingiku. Malah kak Sandra dan sahabat-sahabatku yang selalu mendampingiku menjalankan terapi secara bergantian. Bahkan kak Sandra pun sama sekali tidak merasa jijik, saat aku harus muntah-muntah setiap kali selesai terapi yang biasanya dilakukan Bunda. 

Tapi aku mengerti, Bunda begini bukan karena Bunda tidak peduli. Tapi Bunda tidak tega melihat kondisiku sekarang. Makanya Bunda menyuruh kak Sandra menggantikan posisinya untuk selalu menemaniku. 

Seperti siang ini, dengan sabar kak Sandra menyuapiku yang sama sekali enggan membuka mulut. Akhir-akhir ini aku semakin tidak memiliki selera untuk makan.

“Ayolah De! beberapa suap aja,” bujuk Kak Sandra.

Tak ingin membuat Kak Sandra kecewa, aku pun membuka mulut. Namun, aku sama sekali tidak bisa membohongi, saat makanan itu ada di dalam mulutku, rasa mual benar-benar muncul begitu hebat. 

Mengetahui aku akan muntah, dengan sigap Kak Sandra langsung mengambil wadah kecil. Dan akhirnya makanan itu gagal masuk ke dalam perutku.

“Hanin bener-bener nggak bisa ngerasain apa-apa, Kak.”

“Kakak ngerti De, tapi kamu kan harus minum obat, Sayang.”

Aku hanya menggelengkan kepala, dan Kak Sandra pun tak berani memaksa. Kak Sandra pun menyuruhku untuk tidur kembali, baru saja kepala ini menempel di atas bantal, tiba-tiba rasa sakit itu muncul. Aku mencoba menahannya, agar Kak Sandra tidak panik.

“De, kamu kenapa?” tanya Kak Sandra.

Mungkin ekspresi wajahku saat menahan rasa sakit tadi tidak bisa disembunyikan dan terlihat oleh Kak Sandra.

“Kepala Hanin sakit banget Kak,” keluhku sambil meringis.

“Ya Allah... tahan ya, De!” kata Kak Sandra menguatkan ku dengan raut wajah khawatirnya.

Tiba-tiba Kak Sandra mengeluarkan handphonenya dan menghubungi seseorang yang ternyata kak Hans. “Hallo kak, kakak dimana? Please pulang sekarang kak, Hanin kambuh. Iya kak, Bunda lagi ke rumah sakit ngambil obat sama tante Dewi. Iya, iya kak, cepetan ya!” kata Kak Sandra dengan nada panik sambil mengakhiri obrolannya lewat telepon dengan kak Hans. Kak Sandra langsung memegang tanganku yang semakin tak kuat menahan rasa sakit.

“Bunda Kak, Bunda. Bun... Bunda... Kak, Bunda, Kak,” rengekku sambil meronta-ronta, karena sudah tak kuat menahan rasa sakit.

Kak Sandra semakin panik, air matanya langsung berjatuhan. Kak Sandra langsung meraih kedua tanganku yang sedang meremas kepala, Kak Sandra memintaku untuk memegang erat tangannya.

“Tahan, De! Kakak yakin kamu kuat, Sayang,” ujar Kak Sandra sambil mengelus keningku yang sedikit berkeringat, sementara tangan Kak Sandra aku pegang begitu erat saat rasa sakit itu menyerang semakin hebat.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now