Part-2

987 35 0
                                    

Setelah sembuh, aku memanfaatkan hari-hariku sebagai mahasiswa dengan penuh rasa bahagia. Setiap hari kak Hans atau Bunda bergantian mengantar jemput aku ke kampus. Meski belum mendapat teman, aku cukup bahagia karena aku mampu hidup normal, dan aku sama sekali tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Bunda berikan lagi padaku. Meski setiap harinya aku harus ada di dalam pengawasan Bunda dan kak Hans. Sehingga tak sedikit orang-orang kampus yang bilang aku anak mami dan lain sebagainya. Tapi aku tak peduli akan hal itu, yang terpenting hari-hariku berlalu dengan indah.

Semakin hari, tante Dewi bilang kondisi tubuhku semakin membaik. Mungkin karena semangatku yang besar untuk bisa hidup normal. Wah... senang sekali mendengar semua itu. Hingga tak terasa empat bulan sudah aku menjalani hari sebagai anak kuliahan, yang sibuk dengan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Dan yang lebih membahagiakan lagi, selama empat bulan itu pula rasa sakit itu tak pernah muncul lagi. Tapi ada satu hal yang membuatku merasa iri saat berada di dalam kelas. Aku selalu memperhatikan tiga orang teman perempuan sekelas ku yang begitu akrab, sering becanda tawa, mereka terlihat begitu kompak.

Pagi itu, suasana di dalam kelasku cukup gaduh. Karena belum ada dosen yang masuk. Diam-diam aku selalu memperhatikan tiga orang yang bersahabat itu, mereka adalah Citra, Friska, dan Ririn. Mereka sedang ngobrol-ngobrol di kursi mereka, yang jaraknya hanya terhalang dua kursi dari tempat dudukku.

Gimana sih rasanya punya temen?” tanyaku dalam hati.

Aku hanya tersenyum melihat keakraban yang terjalin diantara mereka. Moment yang mungkin hanya akan menjadi mimpi indah untukku. Karena sudah empat bulan aku kuliah, tapi aku sama sekali belum punya teman dekat atau lebih tepatnya sahabat. Namun, tanpa diduga Citra melihat ke arahku, entah mengapa aku malah mengalihkan pandangan seakan-akan aku sedang membaca buku saat itu. Citra hanya tersenyum kecil dan kembali melanjutkan aktivitasnya bersama kedua temannya.

Waktu menunjukkan pukul 13:00, mata kuliah di kelasku sudah selesai. Semua mahasiswa-mahasiswi berhamburan keluar meninggalkan kelas. Hanya tinggal aku, Citra, Ririn, Friska, yang belum meninggalkan kelas saat itu.

“Cit ... gue sama Ririn duluan ya. Entar kita tunggu lo di depan aja oke,” ujar Friska.

Citra menganggukkan kepalanya. Friska dan Ririn pun pergi.

Tidak lama aku pun beranjak dari tempat duduk, begitu pula dengan Citra. Jarak kita saat itu hanya terpaut lima langkah saja.

Kriiiiing... suara handphoneku berbunyi. Aku langsung mengeluarkan ponsel dan menghentikan langkah, dengan spontan Citra pun menghentikan langkahnya tanpa aku tau.

“Iya Bun ... kayanya Bunda jangan dulu jemput deh. Hanin ada kuliah tambahan. Sekitar 2 jam lagi Bun ... iya Bunda sayang. Assalam’mualaikum.” Mengakhiri obrolanku dan kembali melanjutkan langkah.

“Kuliah tambahan? Ni anak udah pendiem, aneh pula. Ngapain coba dia bohong. Kuliah tambahan dari mana. Aneh...” Citra terlihat penasaran. Dia pun kembali melanjutkan langkahnya.
***

Suasana taman kota siang itu cukup ramai dengan pengunjung. Ada pasangan kekasih, keluarga, bahkan anak-anak sekolah yang sedang berkumpul dengan teman-temannya, untuk sekedar mengobrol atau jalan-jalan di sekitar taman.  Berbeda dengan aku, yang hanya duduk sendirian di kursi taman sambil melihat sekelilingnya, tapi itu cukup membuat hatiku bahagia.

Akhirnya aku bisa ke taman kota juga,” batinku sambil tersenyum kecil.

Entahlah, mengapa hal sesederhana ini bisa begitu istimewa. Rasanya senang dan bangga. Aku yang selama ini hanya ada di tempat sepi, hari ini bisa ada di tempat ramai seperti ini. Ya walau harus berbohong sama Bunda demi mencuri kesempatan, hanya untuk pergi ke taman. Karena kalau aku minta izin terlebih dulu, Bunda pasti tidak akan mengizinkan.

Tiba-tiba di hadapanku ada yang memberi minuman botol.

“Jangan melamun sendirian, entar kesambet loh.” Suara yang berasal dari si pemberi minuman itu.

Dan kini orang itu duduk di sampingku. Saat melihat wajahnya, aku malah bengong, karena orang yang memberiku minuman itu adalah Citra.

“Makasih ya....” Aku tersenyum sambil menyodorkan tangan kanan ke arah Citra. “Hanin...” mengajak Citra untuk berkenalan.

“Gue udah tau kok, kita kan satu kelas.”

“Tapi kurang enak kalau nggak kenalan dulu.”

Citra langsung meraih tanganku yang masih menunggu untuk ia jabat.

“Citra.”

Kita pun berjabat tangan sebentar.

“Sendiri, kan?”

Aku menganggukkan kepala.

“Nggak keberatan kan kalau gue temenin?”

Aku kembali menganggukkan kepala.

“Kamu sendiri juga ya, kedua temen kamu?”

“Mereka udah pulang duluan. Emm ... oh iya, sorry, tadi gue sempet denger lo ngobrol di telpon. Terus lo kayak lagi bohong gitu sama seseorang. Gue pikir lo bohongnya mau apa gitu, ternyata bohong lo cuma buat pergi ke taman doang," tutur Citra tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku ngangguk sambil tersenyum malu.

“Ya ampun. Selain lo pendiem, ternyata lo aneh juga, ya. Pantesan ... empat bulan loh kita satu kelas, tapi serasa murid yang baru kemarin masuk aja deh lo itu.” Citra tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dan aku hanya tersenyum kecil.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now