bab 3 - part 1

1K 34 0
                                    

Senin pagi, dimana ini adalah hari yang paling aku tunggu. Hari ini aku menyandang status baruku sebagai mahasiswi jurusan Akuntansi di sebuah universitas. Dengan mengenakan jeans, baju lengan panjang berwarna putih, tas gendong, dan kupluk di kepala. Tak lupa kacamata yang bisa membantuku membaca pas belajar nanti, sudah melengkapi penampilanku hari ini. Aku keluar dari mobil sport berwarna merah yang dikendarai kak Hans.

"De, inget. Jangan kecapean dan obatnya jangan lupa diminum!" pesan Kak Hans padaku.

"Oke siap, Kak!" kataku sambil hormat seperti seorang prajurit yang siap melaksanakan perintah komandannya. Aku pun membalikan badan dan mulai melangkah pergi.

"De...." Terdengar suara Kak Hans memanggilku lagi.

Aku pun berbalik dan kembali mendekat ke pintu mobil yang sudah tertutup, tapi kacanya masih terbuka. Kak Hans menyodorkan sebuah ponsel untukku, aku pun tersenyum.

"Kak... handphone buat aku?" tanyaku tak percaya.

Karena selama ini Bunda sangat melarang aku untuk menggunakan gadget, dengan alasan radiasi yang dapat memperburuk kesehatanku.

"Mulai sekarang kamu pake handphone itu, biar kita mudah berkomunikasi. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak! Nomor Kakak, Bunda, kak Sandra sama telpon rumah semua udah ada di situ. Inget, kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak!" tegas Kak Hans.

"Iya Kak, makasih ya Kakakku sayang." Aku tersenyum bahagia.

Kak Hans pun membalas senyumanku. Kaca mobil pun ditutup, dan mobil yang Kak Hans kendarai pun pergi. Begitu juga aku yang mulai melangkah masuk ke dalam area kampus yang cukup luas itu dengan penuh semangat.

Mulai hari ini, kujalani hariku sebagai seorang mahasiswa, dengan berbagai kesibukan pastinya. Karena belum terbiasa melakukan banyak aktivitas, kondisiku sempat turun naik. Kadang mendadak dadaku terasa sesak, sakit kepala tiba-tiba muncul. Bahkan aku sempat harus badtress karena kondisiku yang bisa dibilang ngedrop. Hingga Bunda dibuat ragu, dan ingin mencabut izin yang telah Bunda berikan kepadaku. Karena kondisiku jadi tidak stabil semenjak masuk kuliah, membuat Bunda didera rasa khawatir yang sangat luar biasa.

Hingga tiba di suatu hari. Saat pulang kuliah kak Hans hanya bisa mengantarkan ku sampai depan rumah, karena kak Hans harus kembali lagi ke rumah sakit. Saat aku memasuki rumah, suasana rumah terlihat begitu sepi. Aku berjalan menuju kamarku dengan langkah yang tak bersemangat. Entahlah, rasanya hari ini tubuhku terasa beda. Kepala ini terasa berat, tubuh ini pun terasa lemas. Sampai akhirnya aku mendadak jatuh pingsan. Kebetulan kak Sandra yang baru pulang kuliah melihatku jatuh pingsan. Dia langsung menghampiriku, kemudian membawa ku masuk ke dalam kamar. Dengan segera kak Sandra menghubungi tante Dewi.

"Hallo tan ... tan tolong ke rumah tan. Iya tan ... Hanin pingsan nih. Iya aku juga nggak tau kenapa. Ya udah cepetan yan tan ... Sandra tunggu!" ujar Kaj Sandra panik. Lalu Kak Sandra menampar-nampar pelan pipiku, menyuruhku untuk bangun. "Nin lo bangun Nin! Nin lo bangun! Nin ... bangun dong!" Kak Sandra kesal. "HANIN GUE MINTA LO BANGUN!" teriak Kak Sandra cukup keras dengan nada menekan.

Sampai akhirnya aku pun membuka mata. Mungkin karena pengaruh dari teriakan Kak Sandra yang cukup keras di telingaku. Tapi Aku malah tersenyum, saat melihat wajah Kak Sandra yang terlihat begitu panik , seperti mengkhawatirkan keadaanku.

"Huh ... akhirnya lo bangun juga," kata Kak Sandra menghela nafas lega.

"Kakak khawatir sama aku?"

Kak Sandra dibuat salah tingkah dengan pertanyaanku.

"Jangan ngarep deh, gue cuma takut lo mati aja pas lo ada di tangan gue. Entar Bunda nyalahin gue lagi. Ya udah lo tunggu aja, sebentar lagi tante Dewi datang," jawab Kak Sandra jutek.

"Makasih ya, Kak," ujarku berterimakasih.

Aku tersenyum. Kak Sandra pun pergi keluar dari kamarku.

Gara-gara kondisiku yang ngedrop seperti ini, Bunda jadi melarang ku untuk melakukan aktivitas seperti remaja pada umumnya.

"Bunda rasa cukup sampe disini Nin, tolong jangan memaksakan diri!"

"Kasih Hanin kesempatan Bun, Hanin mohon."

"Bunda nggak mau ambil resiko lebih buruk dari ini. Bunda cuman pengen kamu sehat dan terus nemenin Bunda, itu aja. Tolong kali ini dengerin Bunda!"

"Tapi Hanin pengen kayak orang lain Bun, bisa kuliah, punya banyak teman, dan bisa ngerasain apa yang belum pernah Hanin rasain. Hanin mohon Bun, Hanin janji akan lebih memperhatikan lagi kondisi Hanin. Hanin mohon Bun... kasih Hanin kesempatan lagi. Plissss..."

Bunda hanya terdiam, dalam pikiran Bunda pasti banyak pertimbangan. Akankah memberikan izin lagi untukku atau tidak sama sekali.
***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now