Part-2

885 30 0
                                    

Hari-hari pun berlalu, semakin hari aku jadi semakin dekat dengan Citra, Ririn dan Friska. Karena hampir setiap hari kita menghabiskan waktu sama-sama. Bisa dibilang kini aku jadi salah satu dari bagian persahabatan mereka. Meski bagi mereka aku ini merupakan sahabat baru, tapi mereka memperlakukan aku layaknya teman yang sudah bersahabat lama. Aku sangat merasa bahagia, karena akhirnya aku bisa mempunyai teman juga, lebih tepatnya sahabat. Sosok yang selama ini tak pernah ada di dalam hidupku. Sungguh tidak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya hati ini, karena dengan adanya mereka di hidupku, aku merasa hidup ini jadi lebih indah dan lengkap dengan kehadiran mereka. Yang terpenting kehadiran mereka bisa menjadi penyemangat baru untuk aku bertahan, dan berusaha sembuh dari penyakit yang sudah cukup lama bersarang di kepalaku ini.

Semakin lama, aku semakin mengenal sosok ketiga sahabatku. Aku pikir keceriaan yang selalu kulihat di wajah mereka, itu karena mereka tidak memiliki masalah. Tapi ternyata aku salah, setiap orang memang tak pernah luput dari masalah hidup. Termasuk mereka bertiga.

Citra, dia harus berjuang sendiri menembus kejamnya kota demi bertahan hidup. Citra yang memilih untuk hidup mandiri dengan bekerja sampingan sebagai penyanyi Cafe, dibanding ikut tinggal bersama kedua orang tuanya, yang kini menetap di luar negeri.

Sedangkan Ririn, dia adalah anak dari seorang pengusaha. Hidup Ririn cukup enak, tapi Ririn sama sekali tidak pernah merasa nyaman saat berada di dalam rumah. Karena kedua orang tuanya sering berantem gara-gara orang ketiga, membuat Ririn pergi dari rumah dan memutuskan tinggal di Apartemen milik Citra.

Dan Friska, dia adalah anak tunggal. Namun orang tuanya sama sekali tidak pernah memperhatikan Friska, mereka lebih memilih fokus pada usahanya. Hingga akhirnya Friska pun memilih ikut tinggal bersama kedua sahabatnya.

Saat itu, waktu menunjukkan siang di hari Rabu. Kebetulan aku sedang bermain di Apartemen Citra. Namun Citra terlihat tak nampak, hanya ada aku, Ririn dan Friska. Aku dan Friska sedang asik nonton DVD korea-an, yang telah menjadi hobi kita berdua saat mengisi waktu luang, tiba-tiba Ririn datang menghampiri dan duduk di samping Friska, yang posisinya bersebrangan denganku.

"Fris... minjem duit 300 ribu dong," kata Ririn berbisik kepada Friska.

"300... uang buat apa lo?" tanya Friska pelan, seakan-akan aku tidak boleh mendengar percakapan mereka.

"Entar deh gue kasih tau, bantuin gue yah," masih dengan nada pelannya Ririn mencoba merayu.

"Gue cuma ada 100, ini juga lagi nunggu transferan dari bokap. Emang lo nggak pegang uang sama sekali?"

Ririn hanya menggelengkan kepalanya.

"Pake uang aku aja, Rin!" kataku sambil membuka tas untuk mengambil uang di dalamnya.

Ririn dan Friska sempat bengong, karena aku bisa tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Namun melihat aku yang sedang mengorek-ngorek isi tas, Ririn pun angkat suara.

"Nggak usah, Nin... nggak usah," ujar Ririn merasa malu.

Namun, aku hanya tersenyum sambil menghampiri Ririn dan Friska, lalu aku menyodorkan uang kepada Ririn.

"Kalau aku ini kamu anggap sahabat, tolong jangan ditolak ya, Rin."

Ririn malah melirik ke arah Friska, pertanda Ririn minta pendapat apa yang harus ia lakukan. Tapi Friska hanya menggerakkan bahunya ke atas, yang artinya terserah. Sementara aku, aku masih berharap uang ini Ririn ambil. Setelah cukup lama berfikir, Ririn memutuskan untuk mengambil uang yang aku pegang. Aku pun tersenyum.

"Emm... gue janji deh. Secepatnya gue ganti ke elo ya, Nin. Thank's. Kalau gitu gue pamit ya, bye." Ririn bergegas pergi.

"Rin, Ririn..." panggil Friska, tapi Ririn sudah terlanjur pergi. "Tuh anak mau ngapain sih?" gumam Friska.

Tidak lama setelah Ririn pergi, Citra masuk sambil membawa sebuah gitar berwarna putih dan langsung menghampiri, kemudian duduk di dekatku.

"Haduh... sorry ya, Nin... nunggu lama. Yang pasang senarnya agak lelet, ya udah kita langsung aja ya." Citra langsung duduk berhadap-hadapan denganku.

Citra yang mau mengajari aku bermain gitar, langsung memetik senar gitarnya. Namun baru saja sekali ayunan, Citra mendadak berhenti.

"Ehh tunggu, ko gue nggak liat Ririn?" tanya Citra.

"Tadi dateng-dateng dia minjem duit, udah gitu dia langsung pergi lagi. Tau deh kemana," jawab Friska.

"Minjem duit?" tanya Citra heran.

Friska menganggukkan kepala.

"Terus lo pinjemin??"

Friska menggelengkan kepala lagi.

"Enggak, lagian uang bulanan gue udah tipis. Jadi gue nggak bisa pinjemin si Ririn. Tuh si Hanin yang pinjemin."

"Hah, Ririn pinjem uang ke Hanin?" Citra cukup tidak percaya.

"Enggak... itu aku yang ngasih, Cit."

"Harusnya lo nggak kasih, Nin. Dia pasti..." Citra mendadak diam dan tidak melanjutkan perkataannya.

"Apa, Cit?" tanyaku penasaran.

"Emm... ya udah lupain. Mendingan kita belajar gitar aja, bukannya lo pengen bisa main gitar, kan?"

Aku mengangguk, meski sebenarnya aku masih penasaran dengan ucapan Citra yang belum tuntas tadi. Citra pun mulai memetik senar gitarnya, dan kedua mataku fokus memperhatikan. Sementara Friska, ia kembali menonton TV.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now