Bab 4 - part 1

937 32 0
                                    

Siang itu cukup cerah, hari ini jam kuliah hanya sedikit. Itu makanya aku bisa pulang lebih awal dari biasanya. Saat aku sedang memasukan buku-buku ke dalam tas, terdengar suara Citra menyapaku.

“Langsung pulang, Nin?” tanya Citra sambil tersenyum.

Sementara Ririn dan Friska malah mengerutkan alisnya.

“Iya,” jawabku singkat sambil memberikan senyuman.

“Lo nyapa dia, Cit?” tanya Friska berbisik.

Citra tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan Friska, Citra beranjak dari duduknya dan mendekatiku. Friska dan Ririn pasti semakin heran dan tidak mengerti.

“Hari ini kan kita pulang cepet nih, kalau nggak keberatan lo mau nggak ikut main bareng kita dulu?" ajak Citra.

Ririn dan Friska semakin aneh dengan sikap Citra kepadaku.

“Kalian serius?”

“Serius lah, iya kan Rin, Fris?”

“Emm... iya, iya,” jawab Ririn dan Friska barengan, sambil pandang-pandangan tidak mengerti dengan maksud Citra.

“Tuh... kan. Gimana?”

“Emmm... iya aku mau,” jawabku sedikit ragu.

“Ya udah kalau gitu, yuk.” Citra pergi.

Ririn dan Friska pun pergi, lalu aku pun melangkah mengikuti mereka.

Di perjalanan, tepatnya saat kita berjalan di trotoar jalan menuju halte bus. Aku merasa masih canggung untuk berbaur dengan mereka, mau bertanya tapi aku bingung harus bertanya apa. Mau ikut bercanda, tapi aku malu, aku sadar aku hanya orang baru bagi mereka. Namun sikap Citra, Ririn, dan Friska yang cukup welcome, membuat aku mulai merasa nyaman ada di antara mereka.

Saat bus tiba, kita langsung naik ke dalam bus. Meski di dalam kita tidak mendapatkan tempat duduk karena bus sudah penuh oleh penumpang, tapi kita terlihat senang. Begitu juga dengan aku, yang merupakan pengalaman pertama naik bus merasa begitu menikmati keadaan seperti ini.

Tidak lama kemudian, ternyata Citra dan teman-temannya membawaku main ke Mall. Meski hanya untuk sekedar keliling-keliling tanpa membeli apapun, tapi mereka terlihat bahagia, begitu pula dengan aku. Aku benar-benar tidak menyangka bisa ada bersama mereka, yang selama ini hanya angan-anganku saja. Sama sekali tak pernah ada sedikit pun terlintas di benakku kalau suatu saat aku bakal jadi salah satu bagian dari pertemanan mereka. Ahhh... benar-benar serasa ada di alam mimpi yang indah, dan aku sama sekali tak ingin bangun dari tidurku.

Setelah capek keliling-keliling Mall, akhirnya kita memutuskan untuk makan bakso, tapi bukan di Mall melainkan di pinggir jalan dekat Mall yang kita datangi. Meski lelah, hati ini amat sangat bahagia. Karena sosok teman yang selama ini aku inginkan kehadirannya, kini sudah ada di hadapanku. Aku berharap kebersamaan dengan mereka ini bukan hanya terjadi hari ini saja, tapi besok, lusa dan seterusnya.

16:30, di sebuah kamar Apartemen. Pintu terbuka, terlihat Citra masuk diikuti Ririn dan Friska yang langsung berlari menghampiri sebuah sofa panjang, yang cukup untuk duduk 2 orang dan langsung mendaratkan tubuh mereka yang lelah. Sementara aku dan Citra masih berdiri di depan pintu.

Sorry, ya... berantakan,” ujar Citra kepadaku, merasa tidak enak. Karena keadaan Apartemen Citra saat itu memang terlihat sedikit kurang rapih. Karena ada beberapa barang yang tergeletak di sembarang tempat.

Aku pun tersenyum karena cukup memaklumi itu. Karena aku belum tentu bisa se-mandiri mereka.

“Yukk!” Citra mengajakku masuk dan duduk di sofa yang berhadap-hadapan dengan Ririn dan Friska.

“Kalian bertiga tinggal di sini? Udah lama?" tanyaku kepada mereka bertiga.

“Kalau gue sih... semenjak orang tua gue ke luar negeri. Karena nggak mau pisah sama mereka berdua.” Ririn dan Friska yang Citra maksud. “Gue milih tetep stay di jakarta dan tinggal di Apartemen milik orang tua gue ini.”

“Kalau gue sih... dari pada di rumah sendiri mendingan ngikut tinggal sama Citra, jadi nggak kesepian,” ujar Friska.

“Kalau gue sih... udah bosen tinggal sama ortu gue, dimarahin mulu. Jadi mending tinggal aja bareng mereka,” ujar Ririn.

“Kalian kompak dan setia kawan ya. Kalau boleh tau, udah berapa lama kalian bersahabat?” tanyaku.

“Lebih dari 7 tahun, semenjak kita SMP aja,” jawab Ririn.

“Wah... udah lama banget ya. Pantesan kompak.”

Citra, Ririn dan Friska tersenyum kepadaku.

“Emm Nin, lo yakin Bunda lo nggak akan nyariin. Ini udah lebih dari jam pulang kuliah loh,” tanya Citra.

“Nggak apa-apa kok Cit, Bunda pasti ngerti kok.” Aku pun tersenyum berharap Bunda benar-benar mengerti.

Kita pun melanjutkan ngobrol-ngobrolnya lagi.

***

Malam hari, tepat pukul 20:00. Langkah Bunda cukup cepat berjalan menuju kamarku. Dimana aku baru saja masuk dan meletakkan tas yang kubawa di atas sofa. Dengan nada yang cukup tinggi, Bunda menegurku yang baru saja tiba di rumah.

“Kamu dari mana aja sih, Hanin? Jam segini baru pulang. Kamu nggak pikir apa, Bunda khawatir banget sama kamu!” omel Bunda kepadaku sedikit membentak.

Aku benar-benar kaget, sebelumnya Bunda tidak pernah bersikap seperti ini kepadaku. Tapi kali ini aku benar-benar melihat kemarahan dari wajah Bunda.

“Aku habis dari rumah temen, Bun,” jawabku pelan sambil menundukkan kepala.

“Bisa nggak kalau kamu Bilang! hubungin Bunda dulu atau apa kek! Biar Bunda itu nggak kalang kabut nyariin kamu. Apalagi handphone pake dimatiin segala. Bunda kan jadi cemas!”

“Hanin minta maaf, Bun.”

“Pokoknya Bunda nggak mau tau, kalau sekali lagi kamu kaya gini. Bunda nggak akan ngasih kamu izin lagi. Ingat itu!” tegas Bunda.

“Iya, Bun.”

“Ya udah sekarang kamu istirahat... jangan lupa makan terus minum obat!" Bunda mencium keningku dan langsung pergi meninggalkanku sendirian di kamar.

“Kayaknya Bunda marah banget sama aku. Maafin Hanin, Bun... karena Hanin udah bikin Bunda cemas," batinku, merasa bersalah.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now