12 : Utusan Semesta

1.2K 238 5
                                    

Dia menatapku. Tatapannya seperti dia tahu sesuatu. Sepertinya Tristan merasa jika aku menjauh. Obrolanku dengannya tak seperti biasa dan aku bisa dengar Ghinna berseru senang di dalam hatinya.

"Gimana presentasinya besok?" tanya Tristan. Sedari tadi kami hanya berjalan beriringan di sepanjang trotoar menuju halte.

"Belajar aja, Tan," jawabku seadanya.

"Lo kenapa sih, Ay?"

Dia akhirnya bertanya setelah hanya menatapku dengan kumpulan pertanyaan di matanya.

"Enggak apa-apa, Tan."

"Ghinna ngomong sesuatu sama lo?"

"Dia enggak ngomong apa-apa kok."

"Tapi gue denger lo mikirin tentang Ghinna, juga tentang gue," ujarnya lagi. Kali ini langkahku terhenti, ku tatap dia. Aku kesal jika dia mulai baik seperti ini. Mulai menunjukkan perhatiannya dan membuatku bingung.

"Gue bingung sama lo, Tan."

"Kenapa bingung? Gue jelas gini."

"Jelas-jelas punya Ghinna, iya kan?"

Saat itu dia terdiam. Hanya mengulum bibirnya dan mengusap tengkuk. Lalu aku berlalu dan masuk ke dalam bus ketika bus jurusanku datang.

🌸🌸🌸

"Loh? Kok dia dateng lagi, Ma?" tanyaku ketika melihat Dipta berada di ruang tamu lagi. Kali ini dia seorang diri.

"Dia tutor kamu sekarang," jawab Mama. Membuatku segera menatap Dipta yang tersenyum lebar itu.

"Tutor?"

"Iya tutor. Kamu pernah bilang kan kalo kamu pengen masuk kedokteran di PTN?"

"I..iya sih, Ma," Aku mengusap tengkukku. Jadi ini juga alasan ibuku tiba-tiba saja mengenalkan temannya. "Tapi kan Aya baru kelas XI, masih jauh."

"Justru kamu harus siap-siap dari sekarang. Mama udah minta tolong sama Dipta juga loh."

Kemarin Tante Yana memang membangga-banggakan putranya itu di hadapanku. Dipta yang dulu ikut OSN lah, Dipta yang pernah ikut PON lah. Dipta yang SMA-nya di Inggris, Dipta yang masuk kedokteran di UI.

Well, bahkan secara fisik dia tidak bercela sedikit pun. Tinggi--kusen pintu rumahku yang setinggi dua meter hanya berselisih sepuluh centimeteran dari ujung rambutnya. Tubuhnya atletis, rahangnya kokoh, hidung lancip, bahkan iris matanya berwarna cokelat muda. Rambutnya juga kecokelatan, keturunan katanya.

"Ya udah ayo sekarang belajar."

Ku letakkan tasku di atas kursi lalu duduk di sampingnya. Membuat ibuku itu hanya menggelengkan kepala tak suka karena aku kasih mengenakan seragam. "Besok enggak dipake lagi, Ma. Lagian udah sore."

Mama hanya menghela napas sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua.

Dipta mulai membuka sebuah buku tebal yang terdiri dari seribu lebih halaman, sementara aku masih menatapnya. Berusaha membaca pikirannya yang sulit sekali diterka. Ralat, tidak bisa malah.

"Jangan coba-coba baca pikiranku, kamu enggak akan bisa."

Mataku melebar. "Kamu tahu?"

Dia tersenyum kecil. "Aku tahu semuanya."

"Kamu tahu darimana?"

"Semesta."

"Semesta? Semesta siapa? Temen kamu? Tapi harusnya aku kenal dong!" Pikiranku menjadi kemana-mana. Semesta hanya kedoknya atau dia tahu dari siapa. Atau ibuku yang menberi tahunya.

"Pokoknya Semesta."

"Oke, terus kamu siapa sampe semesta ngasih tau kamu tentang aku?"

"Dipta, utusan Semesta," katanya. Otomatis aku tertawa karena ucapannya yang tidak masuk akal itu. Pembicaraan ini menjadi semakin tidak logis.

"Kalo kamu utusan semesta, aku siapa?"

"Gayatri, semesta bilang aku harus melindungi kamu."

"Melindungi aku? Emang kamu kesatria?"

"Itu nama tengahku."

"Bohong."

Aku mencibir, lalu dia mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkan kartu tanda penduduknya.

'Pradipta Satria Aji'

Benar ternyata dan aku hanya diam.

"Tugasku itu ngebantu dan ngelindungi kamu, Gayatri."

"Membahagiakan enggak termasuk nih?" candaku laku tertawa kecil, tapi wajahnya berubah menjadi sendu.

"Andai aku bisa, sayangnya enggak."

"Kenapa?"

"Tanya saja pada Semesta."

🌸🌸🌸

Silahkan Anda berteori.

2 Februari 2019

Read Your HeartWhere stories live. Discover now