2 : Tenda

2.3K 277 9
                                    

'Sepuluh! Sembilan!....'

Para siswa berseragam pramuka itu berpencar ke penjuru arah. Mencari tim kelompok mereka juga bantara pembimbing mereka. Menjelang kemah bakti di akhir tahun ajaran yang akan datang, mereka akan dilatih cara untuk mendirikan tenda terlebih dahulu, karena besok saat kemah yang akan datang, mereka harus mendirikan tenda sendiri tanpa bantuan.

Mereka akan mendirikan tenda di lapangan sepakbola yang ada di dekat sekolah, namun karena keterbatasan tempat, jumlah pasak dan bambu yang tersedia, dua sangga akan mendirikan satu tenda bersama.

Namaku Gayatri dan aku seorang bantara, baru dilantik sebulan yang lalu. Aku berkeliling mengecek setiap tenda yang sudah mulai berdiri. Karena keterbatasan tenda dan menurut kebijakan pembina kami bahwa satu tenda hanya didampingi satu bantara, menganggurlah aku di sini.

Ralat bukan menganggur, hanya mengamati Tristan yang sedang mengajari dua sangga laki-laki di ujung lapangan. Tenda mereka sudah mulai berbentuk dan mereka sudah mulai memasang pasak.

"Woy, Aya! Bantuin ngapa? Jangan cuma dilihatin," tegurnya sambil mendengus sebal tapi tersenyum lebar setelahnya.

Aku hanya tertawa pelan sambil berjalan mendekatinya. Sejauh ini, mereka yang mengetahui aku menyukai Tristan hanyalah Gee dan Ghinna. Entah kenapa Ghinna tidak koar-koar atau menyebarkannya ke satu sekolah, dia lebih memilih diam dan membenciku sendiri.

Entahlah, mungkin dia juga membicarakanku di belakang.

"Sendiri aja udah bisa, buat apa gue bantu?" ucapku seraya melipat tangan di depan dada, mendongak menatap Tristan yang lebih tinggi dariku itu. Membuat bayangannya jatuh tepat di wajahku.

"Gitu ya?" Dia berkacak pinggang, sambil sedikit menunduk. Membuat cahaya matahari kembali jatuh ke wajahku.

"Haish, jangan nunduk ngapa? Panas lagi nih," keluhku sambil menggunakan tanganku untuk menghalangi sinar matahari.

"Kalau enggak mau panas ya masuk tenda lah," ujarnya lalu berjalan masuk ke dalam tenda yang belum berdiri sempurna itu.

"Tendanya belum jadi tau, itu pasaknya belum dipasang semua. Itu juga belum ditegakkin," kritikku setelah masuk ke dalam tenda bersamanya.

"Percaya sama gue. Ilmunya Tristan enggak usah diragukan, enggak bakal ambruk tendanya," ucapnya percaya diri seraya tersenyum bangga, membuatku hanya bisa mendengus pelan.

"Untung ganteng."

Kami berdua kemudian duduk bersila bersebelahan di dalam tenda itu. Walaupun agak ngeri apalagi melihat bambu panjang yang ada di atas kami.

"Tumben Ghinna enggak sama lo," celetukku, mencari bahan pembicaraan.

"Dia ngajarin sangga cewek," jawabnya seraya menatap keluar seolah mencari Ghinna dan aku hanya bisa menghela napas.

"Tan, coba lihat mata gue," pintaku dan dia menurutinya. Dia diam seraya tersenyum tipis, sementara aku berusaha keras membaca pikirannya.

"Kenapa lo kelilipan?" tanyanya.

"Aduh iya nih gatel. Keknya kena serbuk dalemnya bambu itu deh." Aku segera menggosok mataku mencari alasan.

"Jangan digosok gitu, nanti tetesin obat mata aja," sarannya tanpa menanggalkan senyum.

Aku mengangguk. "Gue kira bakal ditiupin kaya di sinetron."

"Kak, pasaknya udah dipasang semua," ujar salah seorang anggota sangga dari pintu tenda.

"Tegakin bambu penyangganya gih," perintah Tristan dan mereka menurutinya.

Bambu yang berdiri di pintu depan dan belakang tenda yang tadinya condong ke dalam itu akhirnya mereka tegakkan. Tapi entah kenapa sejauh aku mengamati, mereka tampak sedikit kesulitan memindahkan bambu tersebut.

"Bisa nggak?" tanyaku sedikit khawatir.

Laki-laki yang membenarkan bambu itupun mengangguk. Sayangnya, itu tidak selaras. Dengan keringat yang mengucur dan wajahnya yang memerah, laki-laki bertubuh kurus itu mengerahkan seluruh tenaganya. Tapi karena terlalu berlebihan sepertinya, bambu justru menjadi condong ke arah luar dan tenda perlahan roboh.

"Aya!"

Aku meringkuk, mencoba menghalangi bambu besar yang ada di atas kepalaku itu dengan tangan.

'Buk! Buk!'

Suara itu terdengar cukup keras, dan menyakitkan tapi aku tidak apa-apa. Aku membuka mataku perlahan, dan menemukan Tristan melindungiku dengan tubuhnya. Dia menyangga tubuhnya di sisi kanan dan kiriku menggunakan tangan agar tidak jatuh di atasku.

"Tan... lo enggak apa-apa?"

Dua bambu berukuran besar menimpa dirinya dan aku masih bertanya apakah tidak apa-apa? Gayatri bodoh. Kulihat wajahnya memerah, mencoba menahan sakit juga panas dan pengapnya tenda ambruk ini.

"I'm fine. Yang penting lo enggak apa-apa," ucapnya, masih mencoba tersenyum lebih cenderung ke meringis, walaupun wajahnya menggambarkan hal lain yang lebih menyakitkan.

🌸🌸🌸

31 Desember 2018

🌸🌸🌸

Read Your HeartWhere stories live. Discover now