4 : Read My Heart

1.6K 260 10
                                    

"Aya?"

"Iya, Aya."

"Gue maksudnya?" tanyaku lagi memastikan.

"Huh?" Dia justru terlihat bingung dan menatapku selama beberapa detik. "Eh maksudnya June, kepala gue kena bambu tadi. Jadi rada error deh keknya."

Aku tertawa hambar, merasakan sedikit ngilu yang menyerang dadaku begitu saja. "Makanya kalo dibilangin jangan ngeyel."

Dia hanya tersenyum lalu memejamkan matanya. Aku menghela napas pelan, menatap setiap lekuk wajahnya perlahan. Sepertinya dia mulai terlelap, wajah Tristan tampak sangat damai.

"He won't be yours, Gayatri."

🌸🌸🌸

Namaku Gayatri dan sekarang aku duduk di atap rumah. Ibuku akan khawatir sebentar lagi begitu melihat anak perempuannya berada di atas sini. Ayahku sedang bekerja dan ibu sedang berbelanja. Lalu saudara laki-lakiku sedang sibuk menggambar entah siapa di dalam kamar.

Ini hari Minggu, jadi aku tak bersekolah. Oh ya, aku lupa bercerita. Aku mempunyai saudara laki-laki, saudara kembar lebih tepatnya. Namanya Gilang dan dia bersekolah di sekolah yang berbeda denganku.

Jika aku bisa membaca pikiran orang, maka Gilang selalu bertemu seorang perempuan di dalam mimpinya. Orang yang sama sejak entah kapan, dan Gilang bilang, perempuan itu juga beranjak dewasa. Lalu ayahku, dia juga ajaib. Ibu bilang dia bisa menghilang dan datang begitu saja, ibu juga bilang jika dia berasal dari jaman penjajahan Belanda. Ibuku adalah orang paling normal di antara kami berempat, tapi senormal-normalnya ibu, ayah pernah bilang bahwa ibu adalah reinkarnasi calon istrinya yang meninggal ratusan tahun yang lalu.

Bingung? Sama. Aku juga tidak paham dengan keluargaku sendiri.

Sudah, jangan bahas keluargaku lagi. Jika kalian ingin minta penjelasan aku juga tidak paham.

Aku menghela napas pelan. Kalimat Tristan itu masih terngiang-ngiang siang dan malam, padahal sudah seminggu.

Sudah seminggu pula, kami tidak berlatih drama karena larangan Ghinna yang katanya khawatir dengan kesehatan Tristan. Ralat, kami bahkan belum memulai latihan pertama.

Sudah seminggu pula, Ghinna menempel bak amplop dan perangko dengan Tristan. Lalat saja tidak ia biarkan mendekat, dan aku hanya bisa menatap. Juga meratap.

Kupukuli dadaku ini perlahan. Diam-diam dia merasakan sesak. Jelas-jelas tak ada ruang. Jelas-jelas dia milik orang.

Semakin lama, semakin sesak. Aku sadar, aku jatuh diam-diam. Jatuh pula sendirian. Jelas tidak akan ada yang mengulurkan pertolongan.

Samar-samar terdengar alunan melodi, sebuah lagu yang sering kukatakan lagu kebangsaan kepada Gee. Orang Ketiga judulnya. Kuraih ponsel yang ada di dalam saku celanaku, ku tatap layarnya sejenak. Ada sebuah panggilan masuk dan itu dari Tristan.

Baru saja kupikirkan dan dia sudah menelpon. Entah untuk apa dia menelponku, tapi melihat namanya saja di layar ponselku bisa membuat jantungku berdegup tidak keruan.

"Halo?" kataku begitu mengangkat telepon darinya.

"Hai, Aya," sapanya dengan suara lembut yang membuat hatiku menghangat seketika.

"Kenapa nelpon?"

"Habisnya chat gue enggak lo bales."

"Oh lo ngechat? Maaf notifnya gue matiin."

"Maaf soal Ghinna," ucapnya begitu saja, membuatku bingung dia minta maaf karena apa.

"Maaf untuk?"

"Sikap dia ke lo, dia kaya enggak suka gitu kalo lo ada di deket gue."

Aku tertawa hambar. "That's okay."

"Oh iya, Ya. Gue mau tanya sesuatu."

"Apa?"

"Waktu lo bilang, 'he won't be yours.' itu maksudnya buat siapa ya?"

"Huh? Gue enggak pernah bilang gitu perasaan."

"Waktu di klinik, waktu habis kena bambu itu. Waktu cuma kita berdua di sana."

Tunggu, aku sepertinya pernah berkata seperti itu. Ralat, bukan berkata. Aku hanya berbicara dengan diriku sendiri saat itu, dan aku mengatakannya di dalam hati.

Tanpa suara, tapi Tristan bisa mendengarnya?

Detik itu juga duniaku terasa berhenti.

Detik itu juga pikiranku berlari-lari.

Tristan bisa membaca pikiranku?

"Tristan?"

"Ya?"

"Lo denger apa aja?"

🌸🌸🌸

5 Januari 2019

Read Your HeartWhere stories live. Discover now