09. Penyemangat.

159 53 24
                                    

"Raon."

Ika menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Raon? Jangan-jangan...."

Ika kembali mendekatkan ponsel tersebut ke telinganya, "Maksutnya kak Raon?"

"Iya, Ika. Sekarang kamu di mana?" Tak ada jawaban dari pertanyaan Raon, membuat lelaki di balik telepon itu pun mengerti bahwa Ika, gadis yang semakin hari semakin mencuri hatinya sedang tidak baik-baik seja.

"Yaudah, aku jemput kamu di rumah." Hanya sebuah deheman yang menjawab, lalu sambungan telepon pun terputus.

Ika menyandarkan kepalanya ke kaca bus. Jalan ini, jalan yang sering ia lewati bersama Martin bersepeda motor berdua, Ika selalu menyembunyikan telapak tangannya di saku jaket jeans Martin saat siang hari.

"Hukum alam berbicara, Mart. Yang datang akan pergi, dan kini saatnya kamu pergi, siap tak siap aku harus mengikhlaskan kamu."


🌸🌸🌸


Ika menatap pantulan dirinya di cermin, rambut hitam halusnya ia biarkan tergerai, di genggamnya sebuah jepitan kecil yang pernah Martin berikan untuknya.

"Untuk hari ini biarkan aku pergi dengan perasaan seakan-akan kamu ada di dekatku." Ika tersenyum menatap jepitan kecil itu, kemudia ia mejepitkan ke poni sebelah kirinya.

"Kamu Cantik."

Ika tertegun, pujian dari Martin terlintas di benaknya, perasaan rindunya kian memuncah mengalahkan rasa sakit yang semakin hari semakin melebar.

Suara bel terdengar di lantai bawah, Ika menghela napasnya, ia bersyukur kehadiran Raon bagai kakak untuknya, membantunya mengikhlaskan sesuatu yang telah ia genggam bertahun-tahun.

Saat pintu utama terbuka lelaki jangkung menghiasi bingkai pintu, Ika tersenyum membalas senyum hangat itu.

"Kamu gak apa-apakan?" Ika mengangguk membalas pertanyaan tersebut, kemudian berjalan mendahului Raon menuju mobil.

"Aku tau sulit menyembuhkan luka, namun jika pemilik luka bertekad ingin sembuh gak ada yang gak mungkin." Ika menoleh menatap lelaki di belakangnya.

Bibir mungilnya tersenyum, "Aku akan menyembuhkannya perlahan, ada kala luka akan sembuh meski memakan waktu lama."

Lalu Ika bergegas memasuki mobil hitam tersebut dan di susul Raon yang duduk di balik kemudi.

Kini mereka berdua telah berada di dalam mobil Raon dengan kecepatan rata-rata, Ika landa kebingungan mencoba bertanya kepada Raon yang sedang fokus menyetir.

"Kak kita mau ke mana?" tanya Ika.

"Aku mau ajak kamu nonton, mau?" Ika mengangguk antusias.

Raon menghentikan mobil saat lampu merah, Ika memalingkan wajahnya kesamping tanpa sengaja netra coklat madunya menatap sepeda motor yang berhenti tepat di samping mobil Raon.

Di pandang Ika sosok kekasihnya dulu yang sedang tersenyum dan seorang gadis bersurai sebahu sedang memeluknya. Hati Ika tersengat, ia belum bisa ikhlas, hatinya masih merasa Martin miliknya.

Raon yang melihat gadis di sampingnya melamun menatap luar jendela ikut memandang keluar, Raon tersenyum getir, ia tahu pemandangan itu sangat menyakitkan Ika.

Ika melihat Gwena mencondongkan tubuhnya berbisik ke telinga Martin sambil tertawa, bercerita bersama seakan-akan kebahagian itu tak bisa di tunda meski di jalan raya sekali pun.

Ika semakin tertegun kala manik hitam legam ikut menatapnya di balik kaca mobil Raon yang transparan, Ika tersenyum kecil menatap gelang pemberiannya masih menggulung di lengan Martin, Martin melengos. Namun lirikkannya berkali-kali melirik kearah Ika.

"Kaa, kam--"

"Aku gak apa-apa, hanya ingat sedikit kenangan yang harus aku usahakan untuk dilupakan." Ika menatap lurus motor yang mendahului mereka ketika lampu hijau menyala.

"Kaa aku tau ini urusan kamu bukan urusan aku, entah apa hubungan kamu sama di masa lalu. Namun, perlu kamu ketahui kenangan tak harus dilupakan." Raon sekilas menatap Ika lalu kembali fokus ke kemudi

"Tiga tahun itu bukan waktu yang bentar, setiap masalah udah kami lalui kak. Dia lebih dari sebuah pacar, dia bisa jadi sahabat aku, hingga saat ini ia pergi tanpa sebab, ninggalin aku sendiri," tutur Ika.

"Aku nggak tau apa aja yang udah kalian lalui, aku cuma orang baru yang ada di hidup kamu. Tapi ada yang harus kamu tau, cinta gak pernah nipu. Kalo dia tulus dia nggak mungkin pergi dari kamu," ujar Raon.

"Terus gimana sama aku! Aku gak mungkin bisa ngelupain semuanya kak. Semua terlalu indah buat aku lupain, dan kebiasaan selama tiga tahun sama dia nggak akan bisa aku lupain," suara Ika meninggi karena rasa sesaknya terlalu menyeruak di dalam dadanya. Ia ingin melupakan. Tapi selalu saja ada hal kecil yang membuat ia merasa masih ada secercah harapan untuknya.

"Aku nggak nyuruh kamu lupain dia, aku tau gak akan mudah lupain orang yang kita sayang. Tapi kamu harus buktiin sama dia kalo kamu itu bisa," Raon mengusap pelupuk mata Ika yang siap meluncurkan kesedihannya.

"Dan kamu harus jadi cewek kuat! Jangan biarin mereka mentertawakan kamu karena terlalu rapuh, akan ada saatnya semua yang menyakitkan hilang. Luka nggak selamanya sakit, ada waktunya saat ia sembuh. Kamu harus bisa, Kaa. Kebiasaan juga bisa di lupakan." Raon menyemangati Ika.

Raon benar Ika harus keluar dari jurang ini, Ika harus keluar. Dan Raon akan selalu membantu Ika untuk keluar dari jurang itu.

Ika menyimpan semua kata-kata Raon, sebuah semangatnya agar bisa keluar dari jurang itu.

Ika bersyukur karena Raon selalu menjadi semangatnya. Membuatnya bisa menghadapi semuanya. Ia akan mencoba melupakan Martin dengan berbekal sebuah penyemangat dari Raon.

🌸🌸🌸

Jangan lupa tinggalin jejak ya:)

The Secret Behind A Smile {COMPLETE}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang