06. Sebuah Peluk

198 64 26
                                    

Ika mendongak menatap wajah lelaki jangkung di depannya, bak sebuah pondok kecil untuknya berteduh di kala hujan, Raon datang di waktu yang tepat.

Raon masih setia mengulurkan tangan meski gadis di depannya seperti tak merespon uluran tangannya.

Ika menatap Lamat uluran tangan itu, di balik tangan itu seperti menjanjikan sebuah ketenangan yang mampu mendamaikan hatinya. Namun bukan itu yang gadis ini inginkan.

"Ika...," Raon berkata pelan seperti berbisik agar Ika segera menerima ulurannya.

Ika menepis sebuah telapangan tangan yang penuh dengan janji kenyamanan di sana. Ika tak butuh uluran tangan itu, ia berdiri dan memeluk Raon.

Ika butuh pelukan yang lebih menjanjikan ketenangan dan kenyamanan.

Dapat Raon dengar Isak mengadu padanya, menumpahkan segalanya di atas bahunya. Di usap pelan bahu gadis di pelukannya, membiarkan Ika memuntahkan habis semua kesedihannya, ia tau Ika telah melahap habis sendiri kesedihan yang membuat nelangsa hati Ika hingga kini Ika bega sampai membuntahkan kesedihannya yang telah Ika lahap.

"Menangislah, jangan terlalu rakus terhadap kesedihan bagilah untuk ketenanganmu," jemarinya mengelus pelan bahu bergetar Ika.

"Kenapa? Apakah ini hukum alam, kenapa sang perusak selalu menang?" Raon dapat merasakan cengkraman di lengannya, emosi tertahan dari Ika sangat mengucapkan itu membuatnya tanpa sadar mencengkram lengan Raon.

"Perusak tak akan datang bila tak di takdirkan," Raon melerai pelukan Ika "Liat aku." Saat Iris hitam legamnya bertemu dengan iris coklat madu itu seketika sebuah aduan kembali berucap, kali ini lewat pandangan.

"Jika dia mencintaimu sebaik apa pun yang baru maka hanya kamu terbaik untuknya, mungkin orang baru datang membuktikan bahwa dia buka yang terbaik untukmu atau mungkin membuktikan kamu bukan yang terbaik untuk dia," Raon tersenyum kecil sebelum melanjutkan ucapannya.

"Tak akan ada asap bila tak ada api, dia tak mungkin berselingkuh bila orang baru tak datang, orang baru itu pun tak akan menjadi selingkuhan dia bila dia tak membuka hati. Mungkin Perusak sengaja di hadirkan agar memisahkan kalian yang memang bukan untuk disatukan. Kembalilah ke kelas, mulailah untuk ikhlas dan belajar terbiasa tanpa dia mungkin itu obat untukmu."

Ika menunduk menatap tanah, ia tahu sekarang. Semua usahanya yang terbaik akan tetap buruk di mata dia, Ika harus belajar terbiasa tanpa Martin dan perlahan mengikhlaskan.

"Apakah ini saatnya? Ucapan perpisahan yang tak pernah ada di janji kita dan impian kita kini menghancurkan semuanya."

🌸🌸🌸


"Ka, Angel mana?" Rindu berdiri di samping meja Ika dengan tas ransel di pundaknya.

"Udah pulang sama Alvian," ucap Ika tanpa menoleh rindu, pokusnya hanya pada buku catatan yang ada di depannya.

"Enak banget yang punya pacar, apalah dayaku yang antar jemput sama Abang," sahut Sella yang baru saja memasukan Alat tulisnya.

"Sabar ya mblo, gue ngerti kok perasaan lo. Rin yuk pulang." Lia menarik Rindu keluar tanpa persetujuannya.

"Ka, gue pulang duluan ya nyusul Rindu sama Lia soalnya pasti Abang gue udah di depan gerbang jemput." Sella pun beranjak pergi setelah mendapatkan Anggukkan dari Ika.

Setelah selesai menulis catatannya, Ika membereskan alat tulisnya lalu melangkah keluar, lantai dua sudah sepi kecuali ruangan ujung yang memang tempat ekstrakurikuler musik. Ika menuruni anak tangga satu-persatu saat tepat di ujung anak tangga ia melihat gadis berambut sebahu lewat dengan terburu-buru dan tanpa sengaja iris gadis itu menatapnya.

"Selamat ya, sekarang kamu rasain apa yang aku rasain dulu, kamu tahu? Di cintai dia itu menyenangkan sangat membahagiakan, genggam erat dia jangan sampai nasibmu sama sepertiku. Aku ga pernah marah sama kamu untuk hal apapun, aku hanya iri padamu yang kini telah di cintainya, dan selebihnya rasa sakit karena kehilangan dia." Setelah mengucapkan itu Ika pergi meninggalkan Gwena.

Matanya telah berkaca-kaca. Namun, sekali lagi dengan rakus ia melahap habis rasa sakit itu dan menutupinya dengan senyuman. Senyumnya semakin mengembang saat melihat lelaki yang ia peluk tadi berdiri di ujung koridor.

"Kak Raon, kok belum pulang?"

"Tungguin seseorang yang punya hobi nangis," Rain menarik tangan Ika mengikutinya, "dan sekarang gadisnya udah aku tarik."

"Jadi itu aku?" Ika memberhentikan langkahnya kemudian menatap tajam Raon.

"Iyalah, selain kamu siapa lagi punya hobi nangis?" Raon terkekeh melihat wajah Ika yang kian tertekuk

"Udah, muka kamu jelek banget di gituin tambah jelek." Di usapnya pelan wajah tertekuk Ika. "Emang kamu ga mau nanya kenapa aku nungguin kamu."

"Kenapa?" Kini tak ada lagi wajah tertekuk Ika, wajah ke-kepoan telah mendominasi ekspresi Ika.

"Kata orang karnaval salah satu obat untuk lagi sedih. Jadi, aku mau ajak kamu ke sana."

"Serius kak?" Ucap Ika cepat.

"Iya, ayok." Ajak Raon lalu menggenggam jemari Ika dan mengajak gadis di sampingnya menuju mobil hitam yang terparkir di dekat mobil kepala sekolah.

🌸🌸🌸

"Suka manis ga?" Tanya Raon saat mereka telah berada di dalam mobil dan meninggalkan perkarangan sekolah.

Ika mengangguk mengiyakan.

"Nih," Raon memberikan Lollipop kepada Ika.

"Lollipop?" Ika yang menerimanya pun bingung kenapa tiba-tiba Raon memberinya permen Lollipop.

"Tadi ada anak kecil jualan Lollipop itu di lampu merah, yah. Aku beli aja, aku nggak terlalu seneng sama yang manis-manis." Ika hanya memangut-mangut tanda mengerti.

"Dan aku bersyukur kamu itu cantik bukan manis." refleks Ika menatap Raon yang tersenyum menenangkan untuknya.

🌸🌸🌸

Jangan lupa tinggalin jejak dan saran kalian ya:)

The Secret Behind A Smile {COMPLETE}Where stories live. Discover now