PROLOG

1.4K 70 33
                                    


Aku memandangi setiap sudut, setiap inci ruangan yang tidak begitu besar ini. Ruangan rutin yang selalu aku datangi jika aku ada masalah.

Aku menarik napas lalu aku keluarkan dengan kasar. "Sumpeh tuh guru lama amat!" ketusku, aku berbicara sendiri di ruangan sempit ini. Aku bernapas jengah, sudah sangat lama aku menunggu di ruangan ini, kira-kira aku sudah menunggu lima menit. Auto tabok.

Ceklek.

Terdengar suara pintu terbuka, kepalaku auto noleh saat seseorang menatapku dengan intens. Saking intens-nya mata tuh guru mau keluar.

Aku menunjukkan deretan gigi putihku. "Hai Pak," sapaku ke guru tersebut. Sambil melambaikan tangan kananku. Terlihat guru itu semakin marah, seketika nyaliku mendadak menciut.

"Silahkan duduk Pak. Anggap aja ruangan sendiri," suruhku ke guru yang sudah memiliki cucu itu.

"Ini emang ruangan saya. Pantasnya saya yang bilang gitu ke kamu!" ucapnya ngegas. Aku mengangguk petanda paham. "Oh ... Saya lupa pak. Saya kira ini ruangan saya," ucapku di akhiri dengan kekehan.

Buset dah tuh guru masih aja tegang. "Pak jangan tegang-tegang dong ... nanti Bapak cepet tua. Mau?" guru itu menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia duduk di hadapanku. "Ara?" panggilnya membuatku menoleh saat aku memainkan kuku-kuku panjang ku.

"Iya?"

"Mau berapa kali lagi kamu buat masalah di kelasmu?" tanyanya dengan nada frustasi.

"Entah," jawabku sambil menggidikkan bahu.

"Opa cuma mau bilang jika papamu sudah memindahkan kamu sekolah ke sekolah yang lebih ketat," katanya dengan tatapan nanar.

Seketika aku syok. Aku memukul meja dengan keras. "Lah kok Opa ngijinin papa sih?"

Benar, guru yang ada di hadapanku ini adalah kakekku. Ketua yayasan di sekolah Rajawali.

"Kalo Opa gak ngijinin papa kamu, kelakuanmu sama sekali tidak akan berubah. Sudah 10 orang guru dalam sebulan yang kamu kerjain sampai-sampai mereka mengundurkan diri untuk menjadi guru disini," ujar opa menatapku saking tidak percayanya. "Sifat siapa sih yang kamu warisin?"

Aku mengetuk-ngetuk daguku. "Sifat papa ... maybe,"

Opa menarik napas lalu menghembuskannya dengan lamban. "Kalo kamu bukan anak dari pemilik sekolah sudah pasti dari dulu kamu dikeluarkan dari sekolah," kata opa mengingatkanku.

"Opa!"  Opa mengangkat sebelah alisnya pertanda menunggu aku melanjutkan perkataanku.

"Opa, rayu papa ya. Buat papa biar nggak mindahin aku. Opa kan baik, ganteng, awet muda," rengekku berusaha membujuk opa.

Opa menggelengkan kepalanya. "Opa gak bisa bantu kamu, keputusan papamu sudah mutlak. Sekarang kamu bisa pulang ke rumah karena papamu sudah menjemputmu."

"Yah ... Opa mah gak asik!" aku menghentakkan meja dan berjalan ke arah pintu.

Saat aku membuka pintu, terlihat beberapa murid sedang menguping pembicaraanku. "Apa lo liat-liat? Gak punya tv di rumah?" sentakku melihat garang ke arah mereka semua.

Seketika semua langsung bubar.

"Huuu ..." sorak-sorai keluar dari mulut mereka.

"Niat banget ngurusin hidup orang. Ngaca dulu bos, hidup lo pada udah bener apa belum!" Aku menggerutu sendirian sambil berjalan ke arah kelas guna mengambil tasku.

Saat aku sudah sampai di kelas seketika semua kegaduhan berhenti. Hening itulah yang sekarang terjadi. "Ngapain kalian diem?"

Krik krik krik!

"Kalian pada budek?" tanyaku lagi saat pertanyaanku tidak ada yang menjawab.

"Ra, lo beneran bakalan pindah?" tanya seorang siswa dari belakang punggungku. Aku menoleh, lalu mengangguk. "Iya."

"Yah ... kok lo pindah sih?" keluh seorang cowok yang satu komplotan denganku saat mengerjai para guru yang masuk ke dalam kelas.

Aku menunjukkan deratan gigi putihku. "Gak usah sedih gitu dong. Kalo ada waktu gue bakalan mampir kesini. Janji!"

"Eh, udahan dulu ya. Gue mau pulang, papa gue udah jemput. Dan jangan pernah berhenti ya ngelakuin hal yang pernah kita lakuin bareng-bareng. Bila perlu biar sekali masuk tuh guru langsung keluar. Biar gak ada yang ngajar!" seruku saking semangatnya.

Salah satu hal yang aku takuti adalah di sekolah baruku tidak semenarik sekolah lama. Teman baru, suasana baru, guru baru.

Mereka semua melambaikan tangan. "Hati-hati Ra. Kalo lo butuh kita call-call aja ya, kita selalu ada buat lo," seru seorang cowok. Aku tersenyum dan membalas lambaian tangan mereka.

"Daa!" Aku berbalik badan lalu melangkahkan kakiku ke luar kelas.

Sangat berat rasanya meninggalkan sesuatu yang sangat kita sayangi. Yah seperti ini contohnya.

______

"Gimana, kamu udah pamitan sama temen-temanmu?" tanya papa saat aku sudah duduk di samping papa di dalam mobil.

"Hm," gumamku singkat.

Papa menghidupkan mesin mobil lalu melajukannya dengan kecepatan yang tidak bisa dibilang lambat. Buset dah, nih bapak punya siapa cobak.

"BISA HATI-HATI GAK. GAK TAU APA ARA LAGI MARAH, MALAH DIAJAK KEBUT-KEBUTAN. NTAR KALO MAMA TAU, PAPA DI SURUH TIDUR DI LUAR LAGI MAU?" teriakku saking kesalnya dengan papa.

"Ora urus," dua kata yang diucapkan papa membuatku ingin menggigitnya karena keadaanku sekarang lagi sedang lapar.

"PAPA DI DEPAN ADA POLISI. MENDING HATI-HATI," teriakku tepat di telinga papa. Membuat papa harus menurunkan kecepatan mobil, karena di depan sedang ada polisi yang sedang bertugas.

"Gak apa-apa lah. Nakal dulu sebelum jadi baik," ujar papa sambil melirikku dengan maksud menyindir.

Aku memutar bola mataku malas. "Nyindir aja terus. Sampek ayam beranak!" cetusku saking kesalnya.

"Siap bosku." Bukannya diam papa malah menanggapi ucapanku yang semakin membuatku kesal.

"Papa!"

"Apa sayang?"

"Auah, Ara kesel!" sentakku kemudian diam.

Saat sudah sampai di depan gerbang rumah. Tanpa permisi aku keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah dengan meninggalkan papa yang masih memanggil satpam untuk dibukakan gerbang.

"Mama!" Aku berteriak saking kerasnya membuat mama menutup telinga. "Kenapa Ara? Kamu kira ini hutan main teriak-teriak aja?" cecar mama saat sudah ada di hadapanku. Terlihat mama habis datang dari dapur karena mengenakan celemek yang penuh dengan tepung.

"Kenapa Mama setuju sama papa? Kenapa kalian nggak nanyak dulu ke Ara. Apakah Ara mau atau gak dipindahin. Ara udah betah di sekolah Opa!"

"Jangan salahkan kita. Salahin aja kelakuan kamu yang sudah sering Mama peringatin biar gak berbuat onar di sekolah. Tapi kamu langgar ya ... tanggung sendiri akibatnya." Setelah mengucapkan itu mama langsung kembali ke dapur tanpa menoleh ke arahku lagi.

"Uluuu uluuu uluuu kasian kali anak Papa," ujar papa tanpa menoleh ke arahku.

Terlintas di pikiranku sebuah ide yang mungkin sangat gila. Aku melepaskan sepatu lalu aku lempar ke arah papa. Dan tepat sasaran, sepatu yang aku lempar mengenai punggung papa. Bodo amat deh kalau papa ngedumel tidak jelas. Aku langsung berlari menuju kamarku di lantai atas.

"Uluuu uluuu uluuu. Kesian kena sepatu ni yee!" teriakku saat sudah berada di kamar.

"Anak laknat!"

****

GIMANA GUYS? SEMOGA KALIAN SUKA SAMA CERITA BARU AKU YA.

KALO ADA TYPO BISA DI COREKSI KOK.

SALAM MANIS DARI AKUH.

TERIMAKASIH.

SHARA (TAMAT)Where stories live. Discover now