Wattpad Original
There are 4 more free parts

10. Presepsi yang Berubah

76K 10.9K 2.8K
                                    

BAGIAN SEPULUH

"Berusaha untuk ikhlas, lebih sulit daripada melepas."


__

KASIM sering melihat Bastian marah, membentak seseorang, atau bahkan merusak barang karena emosi. Tapi melihat Bastian panik dan terlihat... frustrasi seperti sekarang, jujur ini pengalaman baru untuknya.

"Bas," tegur Kasim.

Bastian tidak mendengarkan Kasim dengan baik, ia terus fokus melihat Alia yang sedang diperiksa lewat kaca jendela. Perempuan itu baru saja dioperasi, beruntung tindakan penyelamatan Alia berjalan cepat dan tusukan yang dilakukan tidak terlalu dalam. Ya meskipun sejumlah fakta itu menuju hasil bahwa Alia baik-baik saja. Tetap, Bastian merasa bersalah.

"Kalau saya tidak telat menjemput dia, dia nggak akan seperti ini," gumam Bastian. Laki-laki itu masih memandang lurus ke depan.

Kasim menghela napas, ia berdiri di sebelah Bastian. Melihat Alia yang masih terbaring belum sadarkan diri di atas tempat tidur kamar president suite yang sengaja Bastian pilih untuk Alia, jelas bosnya satu itu akan selalu memberikan yang terbaik kepada seseorang yang berarti di dalam hidupnya.

Ah? Apa Kasim baru saja bilang Alia berarti di hidup Bastian. Tenang, itu sebenarnya hanya tebakan Kasim saja. Dan Kasim harap kecemasan Bastian lebih mengarah kepada perasaan bersalah karena tidak datang tepat waktu, bukan perasa lainnya.

Tak lama kemudian, dokter yang memeriksa Alia ke luar dari dalam ruangan itu. Dia baru saja mengalungkan stetoskop di leher, ketika Bastian langsung memberondongnya dengan pertanyaan.

"Istri saya tidak kenapa-kenapa kan, Dok?"

Kalimat pertanyaan tadi sebenarnya biasa, namun Kasim sempat tertegun sebab yang mengatakannya adalah Bastian.

Dari Bastian berumur empat tahun, Kasim bekerja di keluarga Benazir. Kalau dikalkulasikan dengan umur Bastian itu berarti sudah dua puluh tiga tahun ia bersama keluarga itu. Dan entah mengapa, ini kali pertama ia mendengar Bastian bertanya dengan kalimat yang membuat Kasim... ah entahlah sulit untuk dijelaskan.

Dokter perempuan itu tersenyum tipis atas pertanyaan Bastian, terlebih ia juga mengenal pasiennya tadi—Dokter Alia. "Iya. Kondisinya sudah cukup membaik, meskipun ia belum sadarkan diri karena obat bius saat operasi tadi masih bekerja di tubuhnya."

Bastian mengembuskan napas, "Makasih, Dokter."

Dokter perempuan bernama Fani itu menganggukkan kepala, menyunggingkan senyum kepada Bastian dan Kasim. "Kalau begitu. Saya permisi dulu ya."

Setelah Dokter Fani berlalu, Bastian bergegas untuk masuk ke dalam kamar rawat Alia. Kasim mengikuti di belakang.

Ketika Bastian telah sampai di sebelah Alia, ekspresi laki-laki itu berubah mendung. Ia duduk di sebelah Alia yang sedang tertidur tenang, wajah perempuan itu pucat.

Bastian menoleh pada Kasim yang berdiri di sebelahnya, lalu ia berkata. "Kamu pulang saja ke rumah, Sim. Alia, biar jadi urusan saya," ucap Bastian. "Terus hubungi mata-mata kita untuk cari tahu siapa yang melakukan ini kepada Alia," perintah Bastian.

Kasim ingin membantah sebenarnya, terlebih melihat wajah Bastian yang lelah. Laki-laki baru saja menyelesaikan rapat, belum lagi seingatnya Bastian harus ditahan untuk membahas sesuatu dengan om-nya, Jalu. Macet ibu kota juga menyiksa Bastian untuk sampai ke tempat Alia, belum lagi kejadian yang menimpa Alia. Kasim tahu, laki-laki itu tidak dalam kondisi baik.

"Bas." Kasim ingin menyela.

"I'm fine, lakukan saja apa yang saya perintahkan tadi," ungkap Bastian.

Loose CannonWhere stories live. Discover now