Wattpad Original
C'è 1 più parte gratuita

13. Filosofi Bubur Ayam

78K 9.3K 2.5K
                                    

BAGIAN TIGA BELAS

"Pada akhirnya, rindu akan selalu menjelma menjadi doa-doa sederhana
untuk sebuah pertemuan tanpa amin yang terdengar."


___

"GEDE banget nganga mulut lo," cibir Alia setelah masuk ke dalam mobil dan menemukan sahabat dekatnya masih setia menganga lebar seraya menatap rumahnya, lantas Alia menaikkan dagu Laras enggan telunjuknya agar tidak lepas dari tempatnya. "Biasa aja."

"WOW!" respons Laras selanjutnya. "Gue anggap pilihan lo pas nikah sama Bastian itu benar banget. Gila, rumahnya aja segede gini. Gue pikir Mas Anang Hermansyah sama Raffi Ahmad doang yang rumahnya semewah gini. Nyatanya sahabat gue yang hobinya ngupil terus dipamerin ke gue, punya laki setajir gini."

Alia mendengkus. "Lo tuh muji atau menghina sih?"

"Dua-duanya," kekeh Laras. "Memuji Bastian dan menghina lo."

"Lo kalau bukan sahabat gue, udah gue giri-giri dari tadi," sembur Alia.

Laras mengangkat bahu, kemudian ia memilih untuk menghidupkan mesin mobil. Pagi ini, di hari Sabtu yang cerahnya melebihi muka gebetan, Alia berinisiatif untuk mengajak Laras jogging. Sebenarnya mengajak Riza juga, tetapi Riza mendadak sulit dihubungi. Entah karena apa.

Laras yang memang kebetulan adalah sopir dari kedua sahabatnya, memang selalu setia menjemput jika ada kegiatan-kegiatan seperti ini. Laras lebih suka menyetir mobil ketimbang disetirin, mungkin karena itu Laras suka-suka saja, menjemput sahabatnya seperti ini.

Karena jalanan Jakarta cukup lenggang pagi ini. Dan jarak antara tempat jogging PIK dan rumah Alia—maksudnya rumah Bastian, cukup dekat. Alhasil tak sampai dua puluh menit, mereka berdua sudah sampai.

Mobil telah berhenti dengan sempurna di parkiran, Alia juga bersiap ingin turun dari mobil, sayang gerakannya tertahan oleh suara Laras.

"Eh tunggu, gue bikin alis bentar."

Alia sontak menoleh pada Laras yang sudah menyengir lebar. Kebiasaan Laras yang kadang membuat Alia lelah sendiri, ya perempuan itu yang paling hobi dandan di antara mereka bertiga. Meskipun sebenarnya, Alia juga hobi. Tapi, Laras adalah dewinya—segala produk keluaran terbaru pasti dia coba.

Melihat Alia memandangnya dengan pandangan jengah, Laras dengan cepat berkata sembari tangannya yang bergerak lincah membingkai aliasnya. Dari kecil Laras tidak jago gambar, tapi pas besar dia jago gambar. Gambar alis.

"Santai aja, gue udah maestro banget urusan bikin alis. Lima menit kelar," kekeh Laras.

Alia mendengkus. "Hidup lo nggak jauh-jauh dari make up dan cowok, Ras."

"Iyalah," sambar Laras. "Kalau sekarang masa-masa gue merawat diri, tiap hari kerjanya pakai skincare nanti kalau udah nikah, baru deh pakai freshcare."

Alia terbahak. Kadang kalau lagi suntuk seperti ini, berbicara dengan Laras bisa mengembalikan mood-nya. Perempuan itu hampir mirip seperti Alia, hobi membicarakan sesuatu yang receh, lawak, dan spontan. Bedanya mungkin satu, Laras itu orangnya yang kalau ada sedikit saja hal. Pasti diceritakan, kadang cuma masalah kuku patah saja. Seharian penuh, perempuan itu akan cerita masalah kuku.

"Selesai!" Seru Laras beberapa menit kemudian, perempuan itu memang tidak memakai make up seperti yang sering ia lakukan.

Hari ini nggak banyak kok, cukup alis, maskara, bedak, sedikit bronzer di hidung biar tambah mancung, lipbalm, baru liptint. Sedikit.

Loose CannonDove le storie prendono vita. Scoprilo ora