24 - connor.exe has stopped working

Start from the beginning
                                    

Kasarnya, Charles bermaksud memberi tahu Connor bahwa ia tidak berkepentingan lagi di sini. Semburan energi negatif tiba-tiba meluncur keluar, bergolak di dasar hati Connor, menggelegak bagaikan tungku air mendidih.

Kakak sialan, kubunuh kau lain kali.

Mustahil. Ia berguna untuk melawan terorisme dan anak-anak terkutuk itu!

Gagasan tak pernah terdengar begitu mengerikan sekaligus membingungkan.

Connor tak mampu berkata-kata meski satu pemikiran jernih dalam otaknya menyuruhnya menyusul sang kakak. Ia diam sambil menekan pelipis, berusaha meredam nyeri yang timbul akibat perdebatan dua suara dalam kepalanya yang kian panas, menggebu-gebu, dan ... oh tuhan, berisik sekali! Connor sungguh berniat mencari palu guna menggebuk batok kepalanya sampai remuk. Lebih baik begitu, asalkan suara-suara itu bungkam.

Diamlah, diam! Kalian berdua jangan ada yang bersuara! Connor berupaya mengambil alih benaknya meski luar biasa kesakitan. Kedua suara lantas menurut; perlahan-lahan memudar dari teriakan nyaring di dekat telinga menjadi bunyi-bunyi latar belakang semata. Saat ini, Connor bisa saja berpura-pura menganggap suara itu memang berasal dari suatu tempat di sekelilingnya dan bukan benaknya sendiri.

"Anda tidak apa-apa?"

Panggilan itu menyentak Connor sampai berbalik. Seseorang ternyata melihat perang mentalnya. Sebutir keringat jatuh membasahi alis Connor, turun ke pipi, rahang lalu berakhir di bawah dagu. "Oh." Tidak ada jawaban. Connor memaksakan sebuah senyum mendapati siapa saksi yang menangkapnya hampir bunuh diri menggunakan palu. "Kau pasti Chief Jessamy Griender."

Pemuda pirang di hadapan Connor terang-terangan memandangnya. Hijau bertemu hijau—mata mereka beradu. Connor melihat dari tempat yang lebih tinggi sebab pucuk kepala milik Jessamy cuma mencapai dagunya.

"Ya, dan Anda pasti Petugas Connor Kale. Apa Anda tidak apa-apa?" Jessamy mengulang, nadanya datar. "Anda kelihatan sakit."

Connor memikirkan sebuah jawaban. "Sedikit pusing."

Sang Chief Vioren mengangguk. "Jangan dibiarkan, nanti Anda menyesal. Silakan, tenda medis lewat sini."

Kebaikan hati Jessamy, entah mengapa—Connor sama sekali tidak menyukainya. Nyaris saja ia mendesis jengkel saat lawan bicaranya membalikkan badan. "Terima kasih," dusta Connor, mengikuti Jessamy yang mulai berjalan ke arah salah satu tenda. "Omong-omong, Chief, di mana para buronan dan penjahat diamankan? Tolong tunjukkan padaku." Jeda beberapa detik. "Dan data-data identitas mereka."

"Biar kutunjukkan nanti."

oOo

"Kau tahu apa yang rumit?" tanya Andromeda tiba-tiba. Ialah yang pertama kali bersuara sejak lampu dan layar home theater dimatikan tiga puluh menit lalu, ketika kesembilan anggota Venom (kedelapan saat ini, minus Atlas) sepakat untuk menjalani Waktu Hening di mana mereka semua merebahkan diri di ruangan gelap, tidak bersuara, mendengarkan dengung pendingin ruangan sambil ribut dengan pikiran masing-masing. Tiga puluh menit adalah rekor baru, biasanya mereka cuma mencapai dua sampai lima menit gara-gara Max sengaja kentut atau berserdawa. Dia pikir itu lucu.

"Apa?" Alpha bertanya hampa.

"Itu pertanyaan jebakan atau retorik?" timpal Jasper.

"Semuanya rumit."

Jawaban sederhana Lucille membuat teman-temannya menghela napas. Tentu saja. Apabila sekarang situasinya normal, barangkali Andromeda bakal menerima segelintir dengusan atas jawaban itu. Cakupannya terlalu luas. Abstrak.

Lucille bangkit dari posisi tidurnya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, ke arah delapan orang yang masih senantiasa tertidur di atas matras berselimut tebal nan nyaman. Figur kawan-kawannya tampak jelas meski dalam kegelapan—entah karena pengelihatannya yang telah terbiasa atau wujud mereka yang sudah kelewat akrab sehingga Lucille yakin bisa mengenali orang-orang ini di mana pun, dalam keadaan apa pun, bahkan jika kewarasannya dipertanyakan.

heart of terrorWhere stories live. Discover now