3. Akan Ku Simpan dalam Hatiku

Mulai dari awal
                                    

Yakin segelas air saja tak akan cukup bagi pria berpostur tinggi besar tersebut, Rosy juga membawa sisa makan malam tanpa dihangatkan dengan semangkuk nasi dalam jumlah yang tidak banyak. Ini sudah malam, ART yang membantunya memasak sekaligus merawat Gerry telah pulang ke rumahnya. Mana mungkin dia menanak nasi dulu, makan nasi dingin tak akan membuat Steve Kimm mati, pikir Rosy.

"Makanlah dulu." Wanita itu menaruh nampan tepat di depan Steve. Sementara si pria asing hanya memperhatikan dengan seringai, bukan pada nampan berserta isinya, tapi pada wanita yang telah merawatnya semalaman ini. Tentu tatapan intens Steve membuat Rosy merasa risih.

"Bisa makan sendiri kan?" Tanya Rosy dengan sebelah alis terangkat. Tidak, dia tidak terganggu dengan keberadaannya sebagai pasien. Dia hanya tidak nyaman dengan mata licik yang terpancar darinya. 

"Bagaimana kalau aku bilang tidak bisa?" Ucapnya seperti orang sehat tanpa ada nada kesakitan sama sekali. Menikmati ekspresi datar Rosy yang sekejap dilintasi kekesalan, namun menurut penilaian Steve, Rosy terlalu lihai menguasai diri.

"Aku tidak sempat memanaskannya, sedikit nasi karena makan di malam hari tidak baik untuk kesehatan." Itu hanya modus Rosy menutupi rasa malu karena hanya bisa menghidangkan makanan sisa makan malamnya.

"Tidak masalah, selama itu datang dari tanganmu, aku baik-baik saja." Steve menjawab dengan seringai.

Sumpah ya, Rosy ingin melempar pria ini ke kuburan mumi. Dia jengah dengan nada penuh rayu itu, mengingat dia tipe yang monoton, terlebih setelah kepergian Gerald. Pria keturunan Belanda yang jatuh cinta padanya saat dia menempuh koas di rumah sakit tempat Dady Garry bekerja dulu.

Rosy menghela nafas, kasian juga pria ini. Tangan kirinya membengkak karena luka tembak yang belum mengering telah mendapat luka baru. Belum sayatan lebar di punggung yang berakhir di bawah bahu sebelah kanan itu juga serius. Ketika tangan kanannya digerakkan, sedikit banyak punggungnya akan tertarik dan merasa sakit. Dengan kaku Rosy mulai menyendok, fokusnya hanya pada pekerjaan menyuapi, bukan pada orang yang disuapi. Rosy tak sudi membalas tatapan penuh silet dari si pria. Bolehkah dia memaki?

"Apa kamu memang sedingin ini, my sexy feet?"

Banyak bicara, gerutu Rosy diam-diam.

"Apa kamu juga sekurangajar ini, my crazy patient?" Rosy menatapnya kesal, namun segera dia menyembunyikannya. Dagunya dia angkat dengan tegas, tak ingin memperlihatkan kalau sebenarnya dia tak nyaman ditatap sedemikian dalam.

Steve terkekeh, lalu membuka mulutnya demi merasakan sesuap nasi dengan suwiran ayam sebagai pelengkap tanpa vetsin. Darimana dia tahu itu tanpa vetsin? Kalau itu bukan si dokter cantik berkaki sexy ini, mana mungkin Steve sudi memakan hidangan anyep ini. Masakannya tidak enak, kalau Steve boleh jujur.

"Apa ini masakanmu?" Tanya Steve, matanya berkilat, suaranya sedalam sumur Rengasdengklok menurut Rosy. Tipe bariton bas bernada kelam dan gelap. Rosy menyimpan penilaian sedikit mengerikan pada pria ini jauh di dalam hati. Persis dengan apa yang selalu dia lakukan tiap kali bertemu macam-macam karakter pasien di kliniknya.

"Mmhh."

"Ada berapa banyak luka di punggungku?"

"Hanya satu bacokan, hampir dua jengkal, lumayan mengancam nyawa. Andai kamu tak bangun, aku akan membawamu ke klinik dan memberimu donor darah." Jujur Rosy.

"Tidak perlu, aku terlalu sering mendapatkan ini."

"Jelas." Sahut Rosy kesal. Ada ya orang terluka segitu parah masih bersikap santai.

Seharusnya ini menjadi canggung, tapi pria itu terus saja bertanya santai seakan dia tak pernah mendapat luka separah itu.

"Aku suka bau harum spreimu?" Steve menarik sudut bibirnya, merasa sangat beruntung maminya Garry memang secantik di mimpinya. Yeah walaupun di mimpi saja wanita itu enggan menampakkan muka..

"Aku benci bau anyir darah." Balas Rosy asal.

"Warna spreinya juga manis, semanis sindiranmu, bagusnya itu secantik wajahmu." Lagi Steve menyeringai, tapi kali ini penuh godaan dari bibirnya.

Ouch! Kekesalan Rosy sudah mencapai ujung kepala, uhh geregetnya, Rosy mengomel.  Seharusnya tadi dia menjahit mulutnya juga. 

Jangan salahkan Rosy jika selanjutnya suap demi suap yang dia berikan pada pria antah berantah ini dilakukan dengan cara yang luar biasa brutal.
"Suapan terakhir." Ujar Rosy menahan suaranya agar terdengar tetap bersahabat.

"Lain kali jangan menyuapiku dengan cara tidak manusiawi begitu, Sexy. Untung aku tidak mati tersedak." Mana mungkin tersedak membuatnya mati, lihat kondisinya sekarang.

"Lain kali kondisikan mulutmu, tuan. Untung sakit, kalau enggak..." Rosy mencebik, menahan umpatan keluar dari bibirnya.

"Jadi kamu setuju ada lain kali?" Steve memotong kalimat bernada ancaman dari si ibu dokter, dengan senyum nakal.

"Enggak ada." Jawab Rosy dari sela-sela giginya. Senyum dia paksakan menghiasi wajah lelah dan kusam karena seharian ini belum sempat dia istirahatkan.
"Minum sendiri obatmu." Ujar Rosy dingin. 

"Please, Bu dokter." Wajah memelas itu cukup membuat Rosy menahan dirinya untuk tidaj pergi dari hadapan Steve.

Rosy menghela nafas, mana tega dia menelantarkan pasien, sekalipun adalah orang gila. Sementara di depannya ini hanya akhlaknya saja yang minus. Jadi dengan berat hati Rosy membawa tiga jenis pil ke mulut Steve, lalu meminumkan air putih yang membuat Steve merasa puas karena pelayanan si dokter cantik ini tiada duanya. Kalau sakit semenyenangkan ini, dirinya rela.

"Katakan bagaimana cara berterimakasih padamu dokter...?"

"Kamu bisa meninggalkan rumahku besok pagi. Telpon seseorang untuk menjemputmu." Jawab Rosy lugas.

"Aku tidak punya ponsel, dan tidak hafal dengan satupun nomor yang aku hafal."

"Jadi?" Rosy masih sabar duduk di depan pria yang tak sedikitpun memiliki ekspresi kesakitan.

"Jadi biarkan aku sembuh di rumah ini dalam perawatan istimewa darimu. Aku janji akan membayar mahal untuk itu." Sejujurnya Steve ingat nomor rumah dan nomor telpon kantornya. Tapi Steve masih ingin berlama-lama dengan bidadari ini.

"Kalau begitu, ku pindahkan ke klinik ku saja. Banyak dokter dan perawat disana."

"Aku hanya akan di rawat oleh dirimu." Ucap pria pesakitan dengan nada angkuh tak ingin dibantah.

"Tuan Steve Kimm..." nada Rosy sarat kelelahan. Tak hanya lelah secara fisik, hayati juga lelah bang, keluhnya hanya dalam kepala.

"Panggil Steve saja, My sexy feet."

Oh my God, pasien ini!
"Namaku Rosy."

"Baiklah akan ku simpan dalam hatiku, my sexy feet." Rosy ingin menjambak rambutnya hingga rontok.

"Terserah kamu!" Wanita itu hendak beranjak jauh dari hadapan Steve. Namun, pria itu memanggilnya meminta tolong.

"Tolong bantu aku tiduran, Bu dokter cantik."

Jadi tanpa banyak bicara Rosy mengambil seprei bersih yang ada di salah satu lemari dalam kamar itu. Setelah menarik Steve untuk duduk di kursi kerjanya, dimana biasa ia memeriksa beberapa pekerjaan terkait klinik yang kini ia kelola sendiri. Lalu masih dengan bibir membisu dia mengganti sprei berdarah tersebut dengan cekatan. Semua itu dibawah tatapan nyalang si pria penyebab malamnya berantakan. Meski si pria sadari, wanita berkaki seksi yang mempesona ini tengah memendam emosi padanya. Steve mana peduli.

Untung kena bacok, batin pria bermarga Kimm berbunga-bunga, bagai remaja yang baru tahu rasanya jatuh cinta.

Kredit: pinterest
Love you all😘😘

Boss Gangster dan Bu Dokter IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang