13. Gerald dan Rasa Mengganjal

1.2K 301 79
                                    

Aku tidak tahu, apakah kalian masih setia menunggu Steve Rosy...
Heeee

Yang jelas aku kangen kalian,
Selamat membaca 😘

Berbagai pertanyaan penyidik dijawab oleh pengacara Steve atas nama Rosy dengan lancar, termasuk pertanyaan mengenai apa hubungan Rosy dengan nama-nama yang disebutkan. Rosy ingin mencabik-cabik wajah pengacara ketika bilang Steve tengah melakukan perjalanan bisnis ke Australia selama beberapa hari.

Mengenai mengapa rumah Rosy menjadi TKP adalah merupakan suatu kebetulan saja mobil masing-masing kubu berhenti di depan rumah Rosy saat terjadi pertengkaran. Sehingga tidak salah kalau ada yang berlari ke dalam rumah Rosy hanya untuk menghindari serangan secara spontan.

Anehnya penyidik tidak banyak bicara, justru menyambut dirinya dan si pengacara dengan ramah.

"Mbak, cepet banget?" Gara yang selalu tenang mengerutkan dahi bertanya ketika hanya tidak sampai satu jam Rosy sudah melenggang keluar dari ruang penyidik. Ada raut cemas di wajah Gara yang ganteng.

"Ya." Jawab Rosy singkat, lalu wanita matang itu berbalik untuk mengucapkan terimakasih kepada pengacara yang katanya bernama Tobi Haposan.

"Tidak masalah, Ibu. Sudah tugas saya. Pak Steve bilang harus melayani anda seperti saya melayani beliau."

Aku mengangguk sungkan, jauh dalam hati sungguh terganggu. Merasa tidak nyaman juga dengan tatapan Gara yang bagai laser karena ucapan pak pengacara.

"Jadi apakah kakakku ini bisa menjelaskan hubungan yang seperti apa antara si marga Kimm denganmu, Mbak?"

"Gar, aku akan katakan rahasia seumur hidupku padamu. Tapi janji, jangan jail." Rosy merasa inilah saatnya dirinya berbagi, toh ini Gara bukan orang lain.

"Apa itu?" Gara berjalan santai menuju parkiran kantor polisi. Jemarinya mempermainkan kontak mobil dengan santai. Terimakasih padanya, hanya untuk menemaniku ke sini, dia harus bolos kerja.

"Steve adalah ayah biologis Garry."

"Apa?" Kekagetan tidak bisa Gara sembunyikan. Tangannya yang tengah membuka pintu mobil terhenti. Rosy yang memasang wajah muram tak lagi menyembunyikan ekspresinya. Dia tak mempedulikan Gara yang masih tercengang.

"Masuk nggak? Cepetan! Pasienku banyak!" Rosy melempar arah tubuh Gara dengan tisu bekasnya membersihkan wajah.

"Bagaimana bisa... Mas Gerald?" Tanya sang adik tak habis pikir setelah kesadarannya kembali.

"Gerald tahu, tapi Gerald tidak keberatan bertanggungjawab." Rosy memasang sabuk pengaman lalu bersandar lelah pada jok.

"Mbak, ini gila! Kenapa bisa kamu begini mbak? Kalian berpacaran lama. Tapi justru hamil dengan oramg lain?" Gara dengan kekagetannya. Rosy maklum, setidaknya apa yang diperlihatkan Gara ini wajar, dari pada reaksi Gerald waktu itu.

"Gerald itu malaikat, dia tetap menerimaku bahkan menyayangi Garry." Benar penerimaan akan segala yang dimiliki pasangan memang jadi formula yang bagus untuk saling melengkapi satu sama lain.

"Kenapa bisa mas Gerald menerimamu, mbak? Jujur saja andai itu posisiku..." Gara tak meneruskan, Rosy juga berpikir demikian di awal dia mengakui kehamilannya di depan Gerald.

Sekelumit ingatan membuatnya sedih. Tak apa, semua sudah berlalu. Hingga ajal memisahkan, dirinya dan Gerald saling mencintai. Mereka berdua saling menguatkan, membangun rumah tangga yang bahagia bertiga hingga kecelakaan itu merenggut Gerald darinya, dari hidupnya.

"Mas Gerald memang orang baik, semoga dia tenang di alam sana."
Rosy mengangguk atas perkataan Gara, mengamini.

"Kamu tidak ingin mengunjunginya mbak?" Lanjut Gara, akhirnya pria itu memutuskan menjalankan mobil dan keluar dari parkiran kantor polisi.

Rosy mengendik ringan, "entahlah, mungkin beberapa bulan lagi saat liburan Garry tiba."

"Kenapa tidak menyempatkan saja, Singapura itu dekat." Gara memakai kacamata hitam, menutupi salah satu komponen wajah yang sangat mirip dengan dirinya.

"Kamu benar." Walau semua tak akan mudah untukku, pikir Rosy.

"Lalu bagaimana dengan si marga Kimm itu?" Gara membawa mobilnya berbelok ke arah pusat kemacetan, jalan menuju klinik Rosy.

"Sebisa mungkin aku ingin menghindari dia." Steve dan lingkungannya tidak akan baik untuk diriku dan juga Garry, pikir Rosy lagi.

"Dia bukan orang yang mudah." Sahut Gara membenarkan isi pikiran Rosy.

"Dia baru tahu Garry putranya saat melihat kemiripan mereka." Aku Rosy lirih, rasa dalam hatinya masih tak menentu akibat mengingat Gerald. Beberapa kebenaran yang beberapa waktu ini dia sangkal kembali terbayang. Lebih baik dia mempercayai apa yang ingin dipercayai, Gerald sudah meninggal. Gerald berhak menemukan kedamaiannya.

"Lalu?"

"Aku tidak ingin Garry tahu."

"Dia berhak kalau dulu kamu tidak memberi tahu keberadaan Garry, Mbak.  Berbeda kalau sejak awal si Kimm itu tidak mau bertanggung jawab." Tampik Gara, ucapannya memang ada benarnya.

"Itu hanya kecelakaan, saat melakukannya kami tidak saling mengenal. Aku mencintai Gerald kamu tahu itu, Gar." Tentu saja Rosy pernah memiliki niat menghilangkan Garry, namun sekali lagi Gerald dengan mata penuh kasihnya menjadi orang pertama yang memeluk Garry di mana saat itu masih meringkuk nyaman di kandungannya.

"One night stand, yeah." Sahut Gara tak sepenuhnya benar.

"Gerald bilang, aku hamil adalah anugrah."

Gara melotot, sudah ku duga bahwa reaksi Gerald saat itu memang tak biasa. "Apa maksudmu mbak?"

"Aku tidak paham apa yang dikatakan Gerald waktu itu, aku hanya takut ditinggalkan. Jadi aku tak pernah mencari tahu maksudnya mengatakan itu." Benar, Rosy tidak ingin tahu apa maksudnya. Gerald tidak meninggalkan dirinya saja sudah bersyukur.

"Apakah rumah tangga kalian seharmonis kelihatannya?" Selidik Gara.

"Sure, Gerald pria yang baik." Sebagai suami, sebagai ayah Garry. Walau sebagai pria dia tak sesempurna kelihatannya.

Tidak bisa Rosy tidak berpikir ke arah sana, bahwa ketidakmampuan Gerald membuatnya menerima kesalahan dirinya yang tidak bisa menjaga diri.

"Gar, bisakah kamu menyimpan ini dari siapapun termasuk mama dan Garry?"

"Mama mungkin bisa terus dibohongi, tapi Garry itu kan..." Gara menyeret nadanya, tengah mencari kata yang tepat mungkin, untuk menggambarkan putra kakaknya itu.

"Setidaknya sampai aku menemukan waktu yang tepat untuk mengatakan kebenaran ini."

Bunyi telpon pada tas tangan Rosy menginterupsi.

Deretan nomor asing yang tidak Rosy kenal muncul. Dahi wanita cantik itu berkerut halus, bertanya-tanya nomor siapa ini?

"Halo?" Sapa Rosy kalem.

"Sayangku, My Rosy..."

Hoh, si gila ini....!

Boss Gangster dan Bu Dokter IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang