3. Akan Ku Simpan dalam Hatiku

Mulai dari awal
                                    

Si pria tak menyahut, justru seulas senyum aneh terbit di bibirnya yang pucat dan kering. Secara alami Rosy menaikkan kadar kewaspadaan, mungkin saja pria dewasa yang ditolong putranya adalah psikopat gila. Tapi sisi kemanusiaan sebagai dokter membuatnya bersikap normal.

"Hallo, apa kamu baik-baik saja? Katakan jika ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman. Aku seorang dokter. Bisakah kamu mengerti maksudku?" Rosy berucap profesional, tanpa ada nada terganggu ataupun takut. Padahal dia mengeluh dalam hati, ranjangnya tak lagi berbentuk.

Kemudian Rosy membuka kelopak mata si pria, memberi rangsang cahaya dan memastikan pria itu memang benar-benar sadar.

Saat Rosy menyentuh bagian dari kulit Steve, suasana berat dan sesak yang sempat dia rasakan benar-benar tak tersisa. Semua penampakan yang dia lihat menghilang tak berbekas. Bahkan  Ini sesuatu yang baru bagi Rosy. Dia melirik sekitar untuk memastikan, tidak ada apa-apa. Rosy menatap Steve dalam, spekulasi semakin memenuhi otak Rosy.

"Kenapa ada dokter secantik kamu?" Ucap Steve setelahnya.

"Hah?" Bibir Rosy menganga. Sontak apapun yang wanita itu pikirkan menguap begitu saja karena Rosy merasa bodoh seketika.

Mungkin dia bukan psikopat, hanya orang gila yang kebetulan kaya raya, pikir Rosy maklum. Atau kepalanya sempat mendapat pukulan hingga otaknya geser beberapa mili?

Steve tertawa, namun akhirnya dia berjengkit sembari mengaduh akibat merasakan sengatan nyeri di punggung dan lengannya. 

"Bantu aku duduk my sexy feet, please." Katanya dengan kernyitan yang menghiasi wajah pria itu, anehnya ada senyum di sudut bibirnya.

Rosy tersadar dari keterpukauan antara kemampuan Steve dan celetukan gila pria ini. Keengganan dirasa Rosy, sisi terdalam dirinya was-was orang yang ditolong adalah penjahat, penjahat kriminal merangkap penjahat kelamin, my sexy feet katanya? heran, ada ya pasien kurang ajar seperti dia.

Tapi tubuhnya mendekat juga, menolong pria itu agar duduk tanpa membuat jahitan di punggungnya terbuka. Hebatnya pria itu tak mengaduh sama sekali, dia hanya sedikit mengernyitkan sudut matanya. Apakah tidak sakit luka yang masih basah itu, Rosy tak habis pikir.

"Seharusnya kamu tidak boleh bergerak, tapi itu masalahmu, aku sudah memperingatkan." Kesimpulannya pria dengan banyaknya bekas luka di punggung ini, pastinya tak hanya sekali mengalami hal yang membahayakan nyawa begini.

"Mana bocah tengil itu?" Tanya Steve dengan suaranya yang serak.

Ingin rasanya Rosy memutar bola mata, tapi bila dia lakukan tidak sesuai dengan etiket seorang dokter di depan pasien.
"Bocah tengil yang kamu maksud itu putraku."

"Bagus sekali. Kalau dia tidak menolongku mana mungkin aku bisa bertemu dengan maminya yang sangat cantik?" Steve manatap Rosy penuh minat. Beberapa Ki matanya melirik arah kaki Rosy.

Kurang ajar kan? Batin Rosy yang ingin melempar pria yang ditolong ini keluar rumahnya.

Rosy mendengus samar, melirik pergelangan tangan untuk memindai waktu. Dia lelah, ingin meluruskan badan setelah beberapa jam memastikan pria ini terus bernafas. Dia tidak bisa tidur dengan tenang setelah melihat pasien kurang waras ini baik-baik saja. Apalagi sepanjang malam ini, kamarnya seolah jadi pasar sangking riuhnya dengan penghuni lain.

"Tunggu disini. Kamu harus minum obat." Setelah mengatakan itu, Rosy keluar kamar, menuju dapur untuk mengisi teko dengan air minum.

Matanya melirik kanan kiri, beberapa kali menoleh ke arah kamar putranya yang tertutup. Dia mendesah lega, tidak ada penampakan lain. Mungkin juga karena Steve memang memiliki kekuatan magis, mungkin dia seorang dukun cabul yang merangkap pengusaha.

Boss Gangster dan Bu Dokter IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang