qiunze

3K 366 19
                                    

"Kesambet apa nih lo jajanin gue?" tanya Raya sambil membuka bungkus cikinya yang ketiga.

Saat ini mereka berada di depan mini market. Tepat di bagian teras yang menyediakan kursi, meja serta charger di sana.

Jam sudah menunjukan jam 10.15 malam tapi dari mereka berdua tidak ada yang menyinggung soal waktu. Wajar saja sih jika waktu sudah malam mengingat mereka tadi berjalan ke sini dengan berjalan kaki.

Suasana sekitar juga sudah sepi. Bahkan di mini market tadi hanya ada 2 orang yang berjaga.

"Gabut?" jawaban Gio malah terdengar seperti pertanyaan. Sebelah tangannya memasukan ujung cone es krim dan mengunyahnya lembut.

Kepala Raya bergerak miring memerhatikan Gio sambil terus mengunyah. Lalu mengangguk pelan. Membiarkan poni rambutnya bergerak-gerak.

"Kayaknya lo harus sering gabut."

"Biar apa?"

"Biar bisa jajanin gue terus." Raya menyeringai tanpa dosa. Memerlihatkan jajaran giginya yang putih, lalu membuka air mineral dari dalam plastik.

Gio benar-benar membelikan snak yang banyak untuknya. Raya pikir laki-laki itu hanya membelikan satu eskrim seperti saat di taman waktu itu. Ternyata tidak. Gio juga membelikan Raya beberapa makanan ringan serta minuman yang Raya suka, susu kotak stoberi.

“Padahal tadi pagi lo mau traktir gue makan di kantin.”

Raya mengangguk mengiyakan. “Tapi, kan, tadi pulang setengah hari. Kapan-kapan, deh.”

Gio tersenyum ketika melihat Raya yang serius menghabiskan snaknya. "Bilang makasih dong." ujar Gio lalu membuka air mineral yang satunya.

"Udah."

"Kapan?"

"Waktu di taman."

"Itu beda."

"Intinya gue bilang makasih, kan?"

Gio memutar matanya kesal. "Iya dah terserah lo."

Raya diam. Fokus pada ciki yang berada dalam genggamannya. Gio membenarkan posisi duduknya untuk bisa memerhatikan perempuan yang duduk di sampingnya itu dengan jelas. Pipinya menggembung sebelah dengan mulut yang terus mengunyah. Raya terlihat sangat sibuk. Oh, bahkan ia terus memasukan ciki tersebut ke dalam mulutnya padahal makanan yang berada dalam mulutnya belum habis. Ingatan bagaimana saat ia dan perempuan itu menghabiskan waktu bersama membuat Gio tersenyum.

Tangan Raya terlihat memiring-miringkan bungkus ciki dan menggoyangkannya beberapa kali dengan mata yang menyipit untuk melihat isi di dalamnya.

Raya menaruh bungkus ciki tersebut ke dalam sebuah plastik, yang memang khusus sampah, lalu menepuk-nepuk tangannya untuk membersihkan serpihan ciki yang ada di ibu jari dan jari telunjuknya.

Sudah habis ternyata cikinya.

"Lo belum makan, ya?"

Raya menggeleng sambil meneguk air mineralnya.

"Kenapa? Nggak ada yang ngingetin makan?"

Kepalanya menggeleng lagi. "Mak gue mulutnya astaghfirullahnya minta ampun. Wallahi berisik banget nyuruh gue makan. Padahal manusia nggak bakal mati juga kalau nggak makan seminggu."

"Kadang sampe mukulin gue buat nyuruh makan doang. Bikin gue mikir, apa gue anak pungut ya kenapa cuma gara-gara nggak makan aja sampe disiksa lahir batin."

Gio terkekeh melihat raut wajah Raya saat bercerita. Sangat ekspresif.

"Tante Dinda kan emang gitu, Ra."

Raya yang tadinya fokus membuka ciki keempatnya refleks menoleh ke arah Gio dengan alis bertaut, heran.

"Lo bilang apa tadi?"

Gio yang ditatap seperti itu oleh Raya, bingung.

"Apa?" katanya malah balik bertanya. "Udah belum nih? Udah malem bege."
"Tapi jajanannya belum habis."

"Yaudah bawa pulang. Makan di rumah." Gio berdiri dari duduknya. Bersiap untuk melangkah.

"Lo mau?" tanya Raya dengan mata melirik ke arah jajanan yang berada di dalam plastik genggamannya.

Kepala Gio menggeleng. "Gue nggak mau nyemil malem. Bikin gendut."

"Gue sering nyemil juga segini aja nih badan. Apa gue cacingan, ya? Eh mini market ini jual obat cacing nggak kira-kira?"

Gio terkekeh dibuatnya. Tangannya menarik tangan Raya yang sudah berbalik untuk masuk kembali ke mini market.
"Ayo pulang." Sebelah tangan Gio mengambil plastik berisi sampah di atas meja lalu membuangnya di tempat sampah terdekat.

Mereka berjalan bersisian di lingkungan komplek yang sudah sepi ini. Raya berada di dalam jalan sedangkan Gio berada di luar jalan.

Suasana saat ini sangat sepi. Hening. Bahkan yang terdengar hanya suara hewan malam yang saling beradu serta langkah kaki mereka yang bergesekan dengan aspal jalan.

Oh, jangan lupakan suara kriuk-kriuk ciki dari mulut Raya.

"Ra." Gio menghentikan langkahnya. Membuat Raya refleks mengikuti.

"Asli. Makan mulu lo." Sebenarnya Gio sedikit risih dengan suara kriuk-kriuk tersebut yang menyebabkan dirinya tidak bisa berbicara banyak hal dengan Raya.

"Suka-suka gue lah." jawab Raya dengan nada ketus dan kembali berjalan.

Gio memutar matanya kesal dan mengikuti Raya. Berjalan di belakang perempuan itu sambil memerhatikan tubuhnya dari belakang.

Raya tidak tinggi. Tubuhnya ideal seperti perempuan kebanyakan. Rambutnya ia kuncir asal-asalan, yang saat ini Raya sedang memperbaiki kuncirannya menjadi lebih rapih setelah membuang bungkus cikinya. Kedua tangannya ia masukan ke dalam kantong jaket yang berwarna abu. Malam ini perempuan itu memakai celana panjang berwarna soft pink yang senada dengan sandalnya.

Gio tersenyum ketika mendengar Raya yang saat ini bersenandung kecil.

"Chat gue baru masuk di lo apa gimana?"
Suara rendah yang berat milik seorang laki-laki yang baru saja keluar dari dalam rumah kosong memudarkan senyuman Gio detik itu juga.

Nata. Dengan sebuah tongkat pemukul yang ia taruh di bahu kanannya.

Gio terjaga. Sesegera mungkin berada di depan Raya untuk melindungi perempuan itu.

"Gue cuman minta lo dateng sendiri." kata Nata dengan senyuman miring. Matanya menatap Raya yang saat ini berada di balik punggung Gio. "Tapi nggak apa apa, deh. Bonus."

Gio menelan salivanya dengan susah payah. Dari tatapan yang dilemparkan Nata untuk perempuan di belakangnya, Gio mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ia pikir Nata akan diam dan tidak melakukan apapun ketika Gio mengabaikan pesannya kemarin. Ternyata Gio salah.

Harusnya Gio tidak mengajak Raya keluar untuk membeli es krim.

"Biarin gue anter Raya dulu." Tangannya menggenggam erat tangan Raya dan sedikit menarik perempuan itu untuk melangkah.

Seperti yang diduga, Nata menghalangi jalannya. "Biarin cewek lo nonton."

Gio berdecak lidah frustasi lalu menoleh ke belakang. Perempuan itu sama sekali tidak terlihat takut. Keningnya malah berkerut bingung seolah meminta Gio untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Pandangan Gio beralih ke belakang Raya. Mereka sudah berjalan cukup jauh. Mini marketnya hilang di tikungan jalan. Membuat Gio bingung harus meminta tolong pada siapa. Apalagi suasana komplek saat ini sedang sepi.

Masalahnya saat ini mereka tidak berada di lingkungan komplek yang berjejer rumah-rumah. Di sisi kanan dan kiri hanyalah lahan kosong dan ruko-ruko yang sudah tutup.

Tidak mungkin Gio harus berlarian kembali ke mini market untuk meminta bantuan.

"Telfon seseorang. Please..."
Tepat saat Gio menyelesaikan ucapannya, laki-laki ini merasakan kepalanya seperti meledak.

***

MémoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang