sept

4K 462 17
                                    

"Jangan gitu lagi kenapa, Ya." Nada suara Panji terdengar tegas dan memohon dalam waktu yang bersamaan. Langkah kakinya mengikuti Raya menuju kamarnya yang terletak di lantai 2 rumah ini.

"Perasaan gue daritadi diem, deh." Tangannya menekan kenop pintu dan mendorong pintu tersebut sampai terbuka sepenuhnya. Membiarkan sepupu laki-lakinya memasuki kamarnya. Panji langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur dan matanya mengelilingi ruangan.

Di salah satu dinding kamar Raya tertempel stiker dinding menara eifel yang sangat besar. Juga ada beberapa miniatur yang berbau Paris dipajang di meja belajarnya. Oh, bahkan sprei di kamar Raya bergambar menara eifel. Perempuan itu sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan Paris.

Raya berdiri di dpan cermin dengan kedua tangan yang membuka kancing seragamnya dari atas.

"Woi!" seru Panji sambil melempar salah satu bantal ke arah Raya ketika melihat perempuan itu dengan santainya melepas seragamnya seolah tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran Panji. "Nggak punya otak lo ya?"

Raya mendengus. Merunduk untuk mengambil bantal yang tadi dilempar dan menaruhnya di atas kasur. "Keluar deh lo. Nyusahin."

"Lo yang nyusahin, Ya."

"Kok gue?"

Panji mengubah posisinya menjadi duduk. Menatap Raya yang saat ini tengah melepas ikatan rambutnya. "Lo itu cewek, Ya." Ingatannya kembali bagaimana beraninya Raya pada laki-laki yang bernama Nata tadi.

"Iya kan lo doang yang nganggep gue laki, Ji."

"Lo pernah ketemu Nata?"

"Enggak."

"Jangan bohong, Ya."

Raya memutar tubuhnya lalu menghela napas. Menghampiri Panji dan duduk di sampingnya. Memang hanya Panji yang selalu bisa melihat kebohongan Raya.
"Semalem gue liat dia lagi mukulin Gio."

"Hah?"

"Temen lo digebukin sama Nata semalem," ulang Raya lebih jelas.

"Di mana?"

"Depan rumah kosong yang deket mini market."

"Rumah kosong yang sepanjang jalan kanan kiri lahan kosong?"

Raya mengangguk.

“Trus?” tanya Panji.

"Trus apa?"

"Kok Gio nggak cerita ke gue, sih."

"Nggak penting banget kali."

"Lo nggak tau Nata, Ya?" Pertanyaan Panji sukses menarik perhatian Raya setelah daritadi perempuan ini fokus pada layar ponselnya dan mengetikan sesuatu.

"Tau. Dia yang semalem mukulin Gio."

Tangan Panji mengibas dengan kepala menggeleng. "Lo nggak inget Nata?"

Alis Raya mengernyit. "Inget gimana dah, ketemu aja baru semalem."

"Itu Nata temennya Alva."

Raya masih diam. Berpikir mencoba mencari memori mana yang dimaksud Panji.

Melihat Raya yang masih bingung, Panji melanjutkan, "yang bikin Alva kecelakaan motor tahun lalu. Lo nggak inget?"

-*-

Nataniel Adicahya.

Laki-laki kelas 12 di SMA Kertajaya. Teman Alvarizqi Putra sejak SMP. Iya, Raya ingat. Alva sering mengenalkan teman-temannya pada Raya jika perempuan ini ikut Alva untuk bergabung bersama teman-temannya. Tapi pada saat itu Alva mengenalkannya sebagai Adi. Bukan Nata. Wajar saja jika Raya lupa karena mereka hanya bertemu satu kali.

Raya ingat Alva pernah bercerita bahwa ia mempunyai konflik dengan Nata. Raya tidak tahu bagaimana detailnya karena Alva tidak menceritakannya secara keseluruhan. Intinya, sejak mereka mempunyai konflik, hubungan pertemanan mereka menjadi renggang.

Lalu seminggu kemudian terjadi kecelakaan yang melibatkan Alva. Membuat laki-laki itu patah di bagian lengan kanannya serta lecet di beberapa bagian tubuh. Sebenarnya tidak bisa dibilang kecelakaan karena kejadian itu dilakukan oleh Nata. Dengan sengaja menabrakan motornya ke motor Alva yang saat itu baru pulang mengantar Raya.
Nata tidak terluka parah. Hanya kakinya yang terluka dan membuatnya timpang selama satu minggu.

Entah konflik apa yang terjadi di antara mereka, tapi yang jelas, hal yang dilakukan Nata termasuk hal yang berani dan nekat.

Raya tidak sempat meminta Alva untuk menjelaskan lebih lanjut karena laki-laki itu lebih dulu memutuskan hubungannya.

"Serius Panji bilang gitu?" tanya Lia ketika Raya sudah menjelaskan semuanya pada kedua temannya.

Raya mengangguk.

"Lagian lo kok bisa nggak inget deh, Ra. Aneh." timpal Riska yang saat ini mengubah posisinya menjadi telungkup di atas kasur Raya.

"Ngapain juga gue inget dia. Nggak penting," jawabnya sambil memasukan camilan ke mulutnya.

"Jangan deket-deket Nata deh, Ra." Riska

Alis Raya mengernyit. "Siapa juga yang mau deket-deket sama dia? Ogah."

"Ih maksud gue, dia kan punya masalah tuh sama Gio. Nah lo jangan deket-deket Gio kalau misalnya mereka kayak pengen berantem gitu."

"Ngapain juga gue deket-deket Gio, Ris. Ah, omongan lo daritadi nggak nyambung."

"Gue serius, ish! Denger cerita lo tadi aja gue bisa tau Nata orangnya kayak gimana."

"Gimana?"

"Nekat. Dia pasti tau kalau nabrakin motornya ke Alva, dia juga bakal terluka. Tapi dia masih tetep ngelakuin seolah nggak peduli sama diri dia sendiri yang penting emosinya tersampaikan. Gila nggak sih orang kayak gitu?"

Raya terdiam dengan mulut yang mengunyah camilan. Diam-diam ia membenarkan apa yang dikatakan Riska. Tiba-tiba saja ia teringat kejadian tadi sore saat Nata mengajak Gio menyelesaikan masalah mereka, yang mana maksudnya adalah saling adu tinju. Padahal kondisi sekolah sedang ramai. Nata bahkan tidak risih menjadi pusat perhatian.

Semoga saja masalah Nata dengan Gio tidak berkepanjangan.

"Berarti Alva udah putus dong sama Yasmine?" Lia bertanya seolah ia baru mengerti jalan ceritanya.

Raya mengangguk. "Kemarin dia dateng ke sekolah."

"Hah?"

"Demi apa?"

"Trus trus gimana?" Riska geregetan sendiri. Mengingat bagaimana hubungan keduanya setelah 3 bulan yang lalu.

"Katanya dia mau ngomong sesuatu. Gue kabur deh."

"Kabur gimana? Lari gitu?" tanya Lia

Kepala Raya menggeleng. "Nebeng Gio. Kebetulan dia lewat."

Keduanya sama-sama mengangguk. Memilih diam tidak membahasnya lebih lanjut dan fokus pada film yang tengah diputar di laptop Raya.

"Kalau ternyata Alva ngejelasin sesuatu yang nggak kepikiran sama lo selama ini, maksud gue, Alva ngejelasin sesuatu yang bikin akhirnya lo ngerti perasaan dia,” ucapan Lia menggantung. “Lo mau balik ke dia, Ra?”

Raya terdiam. Pandangannya fokus pada laptop di depannya dengan mulut yang penuh camilan. Sama sekali tidak merespon pertanyaan Lia walau kedua temannya sangat yakin, Raya mendengarnya dengan jelas.

"Karena gue yakin, Alva nyamperin lo nggak semata-mata cuma iseng. Dia pasti have something yang bakal bikin lo nerima dia lagi. Lo nggak penasaran, Ya?"

Lagi-lagi ia memilih diam. Mencoba tidak memikirkan apa yang dikatakan Lia bahwa sebenarnya ia juga sangat ingin tahu.

Tapi, jika nanti Alva benar menjelaskan sesuatu yang membuat Raya bisa menerimanya lagi, apa yang akan Raya lakukan?

***

Mémoireजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें