quatorze

3.4K 369 11
                                    

"Buru anjing kalah itu." Mendengar rentetan kalimat dengan nada kesal dari Indra membuat Panji meletakan ponselnya asal dan kembali mengambil console game yang ia abaikan daritadi untuk membalas pesan teks dari seorang perempuan.

"Bisa main gak sih lo?" Lagi. Indra mengomel.

"Sabar, tai, ini mau gue tembakin musuhnya." Panji jadi ikut emosi.

"Kalahhhhhhh bangsat. Tolol ah lo."

Gio yang berada di atas kasur tertawa melihat kedua temannya yang berdebat karena masalah game.

Karena sekolah yang dipulangkan lebih cepat, mereka memutuskan untuk main ke rumah Gio sekedar mengisi waktu luang. Gio tahu bahwa Panji sebisa mungkin menolak ajakan Indra untuk bermain karena dirinya tengah sibuk saling berbalas chat dengan seorang perempuan yang tempo hari ia lihat bersama Raya. Tetapi Indra memaksanya untuk tetap bermain. Jadilah, seperti sekarang. Panji yang tidak fokus bermain karena pikirannya tetap tertuju pada ponsel miliknya sementara Indra yang terobsesi dengan kemenangan.

Gio sendiri sedang tidak mood untuk bermain. Jadi ia memilih terlungkup di atas kasur dengan plastik snak yang isinya sudah kosong. Memerhatikan kedua temannya yang saat ini saling menyalahkan.

"Lo nggak bisa main, jangan sok, makanya." balas Panji tidak terima.

"Lah? Lo yang maen hape mulu, setan. Coba dah sini gue liat." Tangannya terulur menjangkau ponsel Panji yang berada di seberang. Yang langsung ditepis oleh Panji.

"Apa deh lo."

"Pedekate sama siapa lo? Cewek mana yang bikin lo ngekhianatin gue?"

"Lebay lo, njing." Panji menepuk kepala Indra geram. Membuat laki-laki itu terjatuh ke belakang lalu tertawa.

"Ada gitu ya yang mau sama lo, Ji."

"Diem."

"Dukun mana lo? Bagi-bagi bisa kali."

"Bacot."

"Kecil kemungkinan lo ga pake pelet. Tuh cewek katarak kali, ya."

Kepala Panji menoleh agak mendongak menatap Gio yang berada di atas kasur. "Lo denger suara orang nggak, Yo? Kok ada suaranya nggak ada wujudnya, ya."

Indra tergelak. Menendang Panji bercanda. "Tai lo."

"Deket sama Lia ya lo." Gio ikut nimbrung. Duduk bersila dengan sebelah tangan yang menjangkau snak lain yang berada di lantai. Tadi Gio tidak sengaja mengintip dengan siapa Panji berbalas chat karena dirinya juga penasaran.

"Lia mana? Lia-nya Raya?"

"Lia mana lagi?" Gio balik bertanya seolah pertanyaan seperti itu mempunyai jawaban mutlak.

"Emang Lia di dunia ini cuma Lia temennya Raya?" Panji mengelak.

"Ye si bapak ngeles mulu kayak bajaj."

"Diem lo, oreo."

Gio yang melihat tingkah mereka berdua hanya menggelengkan kepala dengan tawa yang geli.

Tawanya perlahan pudar ketika ia mengingat kejadian saat di sekolah tadi. Saat ia melihat Raya berjalan sendirian keluar sekolah lalu masuk ke sebuah café yang tak jauh dari sana. Gio bukannya mengikuti, ia hanya tidak sengaja lihat. Gio tidak bisa menebak ada urusan apa dan dengan siapa perempuan itu datang ke sana. Sendirian. Gio juga tidak bisa mengintip dari luar dikarenakan saat itu suasana café sedang ramai karena jam istirahat makan siang.

-*-

Pengakuan Alva tadi siang membuat Raya uring-uringan.

Ia merasa tidak ada hal yang ia kerjakan dengan benar saat tadi siang. Semuanya terasa salah. Seperti ada yang mengganjal.
Apalagi ketika Alva mengantarnya pulang.
Raya tentu saja tidak menolak. Ia tidak punya alasan lagi untuk menolak. Setelah mendengar pengakuan Alva tentang apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana bisa Raya tetap bersikap kasar pada laki-laki itu.

Mengingat bagaimana kelakuannya pada Alva, membuat Raya merasa menjadi perempuan jahat, walaupun Alva sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi tetap saja.

Oh, jangan lupakan mengenai sakit hatinya terhadap Alva dan Yasmine.

Setelah mengantarnya pulang siang tadi, Alva juga tidak mengiriminya pesan teks. Bukan Raya berharap lebih. Ia malah bersyukur. Setidaknya semoga saja Alva tidak melakukan hal-hal kecil yang membuat Raya merasa berdebar. Karena Raya akan tetap bertahan pada prinsipnya, bahwa ia tidak akan kembali pada orang yang sudah meninggalkannya.

Dengan alasan apapun.

Kalau Alva menawarkan dengan baik untuk menjalin hubungan sebagai teman, tentu Raya tidak akan menolak. Raya akan senang hati menerima. Tapi jika untuk mengulang sebuah kisah yang sempat terhenti, Raya tidak bisa.

"Raihana." Suara tersebut membuyarkan lamunannya. Kemudian pintu kamarnya diketuk. Lalu terbuka. Menampilkan Dinda yang berdiri menatapnya dengan mata yang menyipit tajam.

"Kamu belum makan kan dari siang? Udah jam berapa ini?" tanya Dinda berjalan mendekati.

Matanya melirik jam dinding di kamarnya. Jam setengah 10 malam. "Nggak laper, Ma." jawab Raya dengan nada malas yang ditarik-tarik lalu berguling di atas kasurnya.

Sejak siang tadi, yang dilakukannya hanya mengurung diri di dalam kamar sambil menghabiskan episode drama dan acara variety show korea.

"Makan apa emang sampe nggak laper? Jajan ya. Kamu itu jajan mulu. Jajan es krim kan pasti." tanya Dinda penuh selidik.

Raya mendengus. "Emang nggak laper, Ma. Ish!"

Sebuah pukulan Raya rasakan di punggungnya. Membuat Raya mengaduh.
"Kamu kalau nggak diingetin makan sampe minggu depan juga nggak bakal makan ya?!"

"Raya kan nggak minta Mama ngingetin buat makan."

Lagi. Pukulan ia dapatkan di punggungnya.

"Kamu itu dibilangin orangtua ngejawab mulu."

"Iya iya."

"Kamu tadi siang kemana dulu? Kenapa pulangnya telat?"

Raya diam.

"Kok diem? Kenapa nggak ngejawab? Mau masuk neraka?"

"Allahu akbar." balas Raya dengan nada jengah lalu mengubah posisinya menjadi duduk bersila tepat di samping Dinda. "Tadi katanya nggak boleh ngejawab."

"Oh, kamu dendam sama Mama?"

"Siapa yang dendam sih, Ma? Aduh! Jangan dipukulin dong Rayanya. Tar kalau meninggal gimana?"

"Hus! Kamu kalau ngomong!"

"Ya abisnya Mama gitu. Emang Raya anak durhaka apa dipukulin mulu."

Dinda berdiri dari duduknya. "Turun. Makan. Jangan sampe nggak makan. Jangan nonton oppai mulu kamu itu."

"Oppa, Ma." Raya mengoreksi. Karena kata yang diucapkan Dinda sudah sangat beda arti.

"Mama jual nanti laptopnya kalau kamu nggak nurut."

Tubuh Dinda berbalik meninggalkan kamar Dinda. Tapi kemudian langkahnya terhenti untuk mengucapkan sesuatu pada Raya. "Makan! Kalau sakit, Mama nggak mau urusin. Bodo amat."

"Allahumma. Iya, Ma, Raya denger."

Dan pintu langsung ditutup. Membuat Raya menjatuhkan dirinya ke belakang. Kepalanya pening akibat tindakan dari Dinda barusan. Mamanya itu benar-benar...agresif. Punggungnya saat ini terasa perih di beberapa titik membuat Raya meringis. Pukulan Dinda tidak main-main sampai Raya takut bahwa kulit punggungnya mengelupas.

Ponselnya yang berada di atas nakas berbunyi. Membuat Raya menoleh dan dengan malas bergerak untuk menjangkau benda tersebut.

Algio Samudra: es krim?

Kedua sudut bibir Raya tertarik menghasilkan sebuah seyuman simpul.
Raya langsung beranjak dari posisinya. Mengambil salah satu jaket yang tersampir di belakang pintu lalu bergegas keluar rumah. Rasa sakit di punggungnya sekarang bahkan tidak terasa lagi.

***

MémoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang