quatre

4.7K 492 32
                                    

Raya menggulingkan tubuhnya ke samping. Membuat dirinya saat ini bisa menatap langit-langit kamarnya yang bercat peach. Ia tidak konsen mengerjakan pr bahasa Indonesia yang ditugaskan membuat cerpen oleh guru sekolahnya. Ia tidak punya ide sama sekali seolah jalur ide dalam otaknya tersumbat. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Alva.

Entah kenapa semakin Raya berusaha melupakan, perempuan ini malah semakin terngiang-ngiang. Masih penasaran apa motif Alva mengiriminya pesan teks bahkan sampai rela mendatanginya ke sekolah.

Raya bangkit dari duduknya. Mengambil jaket abu miliknya—dengan stiker menara eifel kecil di sisi dada sebelah kiri—yang tersampir di belakang pintu kamar lalu pergi.

“Raihana? Mau kemana?” Mamanya—Dinda— langsung bertanya saat Raya turun dari tangga rumah.

Raya menoleh. Mendapati Dinda duduk di sofa ruang televisi dengan berbagai tumpukan kertas di meja depannya. Pasti kasus kliennya ia bawa pulang lagi. Dinda bekerja sebagai salah satu pengacara di firma hukum besar di kotanya. “Jajan.”

“Jangan malem-malem pulangnya.”

“Yaudah aku pulang pagi ya, Ma.”

“Raihana.”

Raya menyeringai lalu mengangguk mengerti.

Suasana komplek perumahannya terlihat sepi. Tidak ada satu pun kendaraan yang lewat atau anak kecil yang bermain di depan rumah sambil berlari-larian. Seingat Raya saat ini masih jam 9 dan itu bukan waktu yang terlalu malam.
Tangan Raya merapatkan jaket yang ia gunakan saat angin malam menusuk kulitnya. Menembus jaket yang ia gunakan. Ah, iya, daritadi sore hanya mendung disertai angin tanpa hujan turun sampai sekarang.

“Berapa, Mbak?” Raya mengeluarkan dompet miliknya, menunggu sang kasir minimarket menyebutkan total belanjaannya.

“Tiga puluh dua ribu rupiah.” Dan Raya memberikan uang pas. Mengucapkan terimakasih lalu pergi keluar meninggalkan minimarket.

Bahkan petugas yang berjaga tadi hanya 2 orang di sana. Apakah cuaca mendung selalu membuat semua orang menjadi betah di rumah?

Raya membuka plastik es krimnya dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Langsung menjilati permukaan es krim perlahan. Sedikit meringis ketika es tersebut tidak sengaja menyentuh giginya yang sensitif.

“Es krim emang yang terbaik.” Ibu jari kanannya terangkat. Sangat bangga karena ia sedang makan es krim sekarang.

“Sekali lagi gue liat lo deketin dia, mati lo, bangsat!”

“Nata! Udah! Nanti ada yang liat gimana?!”

“Lo denger nggak?!”

Suara-suara mengerikan itu muncul dan langsung menusuk gendang telinga Raya membuat perempuan ini bergidik lalu menyipitkan matanya.

Terlihat dua orang yang sedang berdiri dan satu orang yang tergeletak di sana, di bawah lampu jalan yang redup tepat di depan rumah kosong. Salah seorang yang berdiri menarik baju yang tadi diteriaki Nata untuk segera pergi dari tempatnya. Yang bernama Nata menepis tangan temannya lalu menginjak tubuh yang tergeletak dengan kuat.

Mata Raya membulat saat mengenali siapa pria itu.

Gio?

“Woi!” Raya berlari dengan suara gemerisik dari plastik yang ditentengnya. Es krim yang belum ada satu menit ia jilati langsung ia lemparkan begitu saja. Tepat mengenai kepala seorang laki-laki yang bernama Nata.

“Anjing.” Umpat Nata dengan raut wajah kesal. Tubuhnya berniat maju tapi langsung ditahan oleh temannya. Sebelah tangannya menepis kasar es krim yang mendarat di kepalanya dan membersihkan cairan-cairan tersebut.

MémoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang