treize

3.2K 395 19
                                    

Pintu café terdorong mengakibatkan sebuah bel yang berada di atas pintunya berdenting. Raya melangkahkan kakinya masuk dengan bola mata yang mengelilingi ruangan.

Tubuhnya kaku sesaat ketika melihat laki-laki yang mengenakan jaket abu itu duduk di sudut ruangan. Tengah menatap keluar jendela dengan sebuah minuman es di hadapannya.

Raya melanjutkan langkahnya menghampiri Alva yang entah sudah berapa lama menunggunya karena kini Raya bisa melihat ada beberapa titik embun yang mengelilingi luar gelas es tersebut. Minuman itu masih utuh, belum diseruput sama sekali.

"Sori, gue telat, ya?" Raya mendorong kursi di hadapan Alva lalu duduk.

Laki-laki itu menoleh dengan semburat senyum tipis. "Enggak, kok."

"Lo udah lama?"

Alva saat ini melepas jaket miliknya dan menaruhnya di kursi sebelah. "Baru aja."

Lalu hening. Tidak ada yang terdengar lagi selain suara berisik pengunjung café saat ini. Suara denting bel di atas pintu berkali-kali terdengar menandakan bahwa tidak sedikit orang yang masuk atau keluar dari sini.

Suasana ramai.

Ah, iya. Jam istirahat.

"Ngg, lo mau pindah aja?" kata Raya lalu matanya melirik sekitar seolah memberitahu pada Alva bagaimana suasana di sekelilingnya.

"Di sini aja." Sebelah tangannya membuka tas miliknya yang ditaruh di kursi sebelah lalu mengeluarkan sekotak susu.

Raya menahan napas dibuatnya.

"Kesukaan lo." Kata Alva dengan menaruh minuman tersebut di depan Raya. Alva bahkan masih ingat kesukaan Raya.

Senyuman tipis Raya berikan. "Makasih."

Alva bahkan masih ingat bahwa Raya sangat menyukai susu kotak stoberi. Di dunia ini Raya hanya menyukai tiga jenis minuman. Air putih, es teh dan susu.

"Lo apa kabar, Ra?" Pertanyaan Alva membuat Raya mengangkat wajahnya untuk melihat sang penanya.

Alva tidak berubah. Sama sekali. Oh, mungkin hanya gaya rambutnya yang tidak segondrong dulu. Kedua bola mata berwarna cokelat karamel itu masih menatapnya dengan tatapan sama. Tatapan yang selalu Raya sukai.

"Baik, Va. Lo sendiri?"

Kepala Alva mengangguk dengan senyuman tulus. "Baguslah." Tanpa menjawab pertanyaan Raya sama sekali.

"Lo mau ngomong apa?" Raya to the point.
Pertanyaannya malah membuat pandangan Alva berubah. Raya tidak bisa membaca jelas apa maksud pandangan itu tapi Raya bisa melihat ada sedikit penyesalan terpancar.

"Gue minta maaf."

"Untuk?"

"Gue yakin lo tau salah gue di mana, Ra."

Raya tersenyum miring. Bayang-bayang saat ia memergoki Yasmine sedang berada di rumah Alva kembali melintas di kepalanya.

"Lo mau minta maaf doang?" Raya berdeham. "It's okay. Itu udah 3 bulan yang lalu. Wajar, kok."

"Wajar?"

"Lo capek sama gue, kan?"

Mata karamel indah itu menatap Raya tanpa berkedip. "Nggak, Ra."

Raya mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

"Nggak sama sekali." Alva membenarkan posisi duduknya. "Apa selama kita pacaran, gue pernah ngeluh capek ke lo?"

Tidak. Tidak sama sekali. Raya memang manja. Sering bersikap seperti anak-anak pada Alva. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengatakan lelah bahkan melalui raut wajah sekalipun.

MémoireWhere stories live. Discover now