"Arrrrggggggg..." merasa kesal, lalu pergi meninggalkanku yang semakin meringis kesakitan.

***

Setelah larut malam, sekitar pukul 23:30 aku merasa lebih baik. Saat aku hendak pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tiba-tiba saja aku tidak sengaja memergoki Kak Hans dan Kak Sandra sedang beradu mulut, karena Kak Sandra baru pulang selarut ini, padahal Kak Hans sudah menyuruh Kak Sandra untuk jagain aku.

"Itu anak emang bisanya cuman nyusahin orang aja kan! Aku punya kehidupan sendiri Kak, bukan cuman buat ngurusin anak yang penyakitan itu doang," ujar Kak Sandra.

"Dia itu adik kamu, San! Dan jangan pernah ngerasa kalau kamu doang yang terusik. Kalau Kakak dan Bunda punya pikiran yang sama kayak kamu, Kakak sama Bunda juga merasa terganggu. Kakak harus rela mengorbankan tugas Kakak di rumah sakit bahkan sampe dapet teguran, semua itu demi Hanin. Bunda rela mengabaikan restaurantnya dan mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan yang mahal itu, cuman demi Hanin. Tapi kita nggak pernah mengeluh sedikit pun... kita ikhlas, kita ngelakuin ini karena kita sayang dan pengen Hanin sembuh. Tolong kamu ngerti!" tegas Kak Hans.

Mendengar itu aku merasa bersalah. Aku semakin merasa kalau hidupku ini hanya membuat susah orang-orang di sekelilingku, dan penyakitku ini sudah membuat Bunda banyak mengeluarkan uang. Rasa putus asa itu mendadak muncul lagi. Di pikiranku timbul sebuah pertanyaan, kenapa tak Kau ambil saja nyawaku ini sekarang juga Tuhan? Aku langsung pergi sambil menangis, dan nampaknya Kak Hans dan Kak Sandra menyadari keberadaanku saat itu.

Setelah kejadian itu. Aku jadi pemurung, dan selalu mengurung diri di kamar. Aku sama sekali tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa termasuk Bunda, sampai-sampai di depan pintu kamarku, aku menempel tulisan 'Aku tidak mau diganggu' agar tidak ada yang masuk ke dalam kamarku. Kecuali bi Minah, itupun hanya untuk mengantarkan makanan dan obat saja. Tapi aku lupa satu hal, Bunda memiliki satu kunci kamarku, Bunda berhasil masuk dan menghampiriku yang saat itu sedang menangis.

"Aku bilang aku nggak mau diganggu, Bun!" ujarku kepada Bunda yang semakin mendekatiku.

Bunda duduk di sampingku, lalu membelaiku dan mendekapku. Aku rasa Bunda cukup mengerti bagaimana cara menenangkanku. Dengan lembut Bunda bertanya kepadaku.

"Sayang... udah dua hari kamu nggak keluar kamar. Udah dua hari juga Bunda menahan rindu untuk ketemu sama kamu. Jangan marah gini terus dong Sayang, kamu cerita sama Bunda. Apa yang terjadi? Kasih tau Bunda, Sayang."

"Hanin pengen mati aja, Bun... Hanin pengen mati aja..." rengekku.

Mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulutku, Bunda tertegun dan malah menangis.

"Kamu ngomong apa? Apa kamu tega ninggalin Bunda, Sayang? Kamu tega bikin Bunda menderita tanpa kamu!"

"Hanin cuman bisa nyusahin Bunda, Hanin cuman bisa ngabisin uang Bunda. Penyakit Hanin ini cuman bikin susah Bunda sama kakak-kakak Hanin. Hanin pengen mati aja, Bun. Biar nggak ada lagi yang keganggu gara-gara Hanin."

Bunda memintaku untuk menatap ke arahnya, sambil tersenyum Bunda menghapus air mata yang membasahi pipiku.

"Sayang... Bunda sama sekali nggak pernah merasa seperti itu. Bunda akan selalu berusaha untuk menjaga kamu. Uang... uang bukan segalanya Sayang. Bahkan Bunda rela kehilangan semua uang Bunda demi kesembuhan kamu, demi mengusir penyakit kamu.... Jangan pernah lagi bikin hati Bunda sakit dengan kata-kata seperti itu, Bunda yakin kamu pasti sembuh Sayang. Bunda yakin," ujar Bunda memelukku sambil menangis. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa menangis dalam pelukan Bunda.

Namun, ada yang sangat aku sesali. Semenjak pertengkaran malam itu, kak Sandra pergi dari rumah dan sampai hari ini dia belum pulang-pulang. Mungkin karena di rumah ini kak Sandra adalah orang yang sering dimarahi dan disalahkan. Meski kak Sandra jutek dan sering kasar kepadaku, tapi hari demi hari yang kulalui tanpa kak Sandra cukup terasa aneh. Serasa ada yang hilang di rumah ini. Merasa jadi penyebab kepergian kak Sandra dari rumah, membuatku kepikiran untuk pergi juga dari rumah. Karena menurutku, bila aku tidak ada di rumah, kak Sandra tidak akan merasa di nomor 2 kan terus. Meski dengan rasa takut, aku memberanikan diri bicara dan meminta izin ke Bunda untuk ikut tinggal bersama ketiga sahabatku. Mendengar itu, Bunda sangat kaget sekali.

"Tinggal sama teman kamu, Sayang?" tanya Bunda cukup kaget.

Aku menganggukkan kepala. Namun tiba-tiba saja wajah Bunda berubah menjadi sedih dan meneteskan air mata.

"Kamu nggak bahagia ya Sayang tinggal sama Bunda?"

"Kok Bunda ngomong kayak gitu?"

"Buktinya kamu pengen pergi dari rumah dan menjauh dari Bunda."

Bunda menangis, aku jadi semakin tidak enak. Aku sama sekali tidak bermaksud membuat Bunda bersedih. Aku pun mencoba menjelaskan maksud aku yang ingin tinggal bersama teman-temanku. Bukan karena aku tidak bahagia bersama Bunda, tapi karena aku ingin merasakan suasana yang belum pernah aku rasakan, aku ingin sekali belajar hidup mandiri. Untuk bisa merasakan hidup normal seperti remaja pada umumnya. Tapi tetap saja Bunda tidak mengizinkan aku untuk pergi. Tapi untung saja ada kak Hans, kakakku yang satu ini memang selalu menjadi penyelamat. Kak Hans berhasil membujuk Bunda sehingga Bunda mengizinkan aku untuk tinggal bersama Citra, Friska, dan Ririn. Dengan syarat, aku harus menjaga kesehatan dan jangan sampai telat minum obat. Dan bila sesuatu terjadi kepadaku, kak Hans lah orang pertama yang akan Bunda salahkan. Aku pun menyanggupi syarat yang Bunda berikan kepadaku. Dan aku janji tidak akan mengecewakan kak Hans. Aku senang sekali mendengar itu, karena mulai besok waktuku bersama sahabat-sahabatku bisa lebih lama lagi. Dengan rasa bahagia, aku langsung memeluk erat Bunda dan berterimakasih kepada Bunda, juga kak Hans pastinya.

***

Sunshine (ketulusan, cinta dan pengorbanan) REVISIWhere stories live. Discover now