Embrace The Wind Part 32

9.1K 1K 67
                                    

Dengan bibir kelu, Ashton kembali bergumam takjub dengan suara yang kecil, “Kurasa kita benar-benar ditakdirkan.”

“Kau bicara apa sih?” tanya Shania yang selalu bingung dengan sikap Ashton yang ia rasa selalu menyimpan rahasia di balik perkataan pria itu. “Katakan padaku saja langsung. Jika memang benar ada yang masih aku lupakan, katakan saja padaku. Mungkin jika kau mengatakannya, aku akan langsung mengingatnya?”

Ashton mendecih kecil mendengarnya. “Jika aku mengatakannya, kau malah akan menganggapku gila. Bagaimanapun hal ini harus kau ingat sendiri.”

Ashton mengerang sedikit frustasi. Sebelum sebuah ide kecil muncul di kepalanya. Ia pun kembali meraih pergelangan tangan Shania sembari satu tangannya yang lain membuka pintu mobilnya dan mendudukkan Shania di dalam sana.

“Hei, kau mau membawaku ke mana? Ini sudah malam.”

“Kita pergi makan malam.”

“Kau gila? Aku bahkan hanya memakai piyama dan sweater. Aku juga sudah meminum susu sebelum tidurku dan sekarang kau mau makan di mana?” tanya Shania sedikit kelabakan melihat Ashton yang sudah duduk di sampingnya, siap mengemudi setelah menyalakan mesin mobilnya.

“Restoranku buka hingga jam dua belas.”

Tanpa bisa banyak protes, mobil itu sudah mulai berhenti di sebuah restoran besar. Restoran itu masih terlihat cukup ramai walau jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Shania hanya bisa terdiam melihat Ashton yang sudah lebih dulu keluar dari dalam mobil dan menghampiri sisi pintu Shania. Membukanya dan memberi tanda untuk Shania yang mau tak mau harus keluar dari mobil itu.

“Hei, kau ingin aku masuk ke dalam restoran mewah dengan memakai piyama seperti ini? Kau mau kita ditegur atau ditatap aneh?” bisik Shania.

Ashton tersenyum geli. Ia kemudian mendekatkan bibirnya, membalas bisikan Shania di telinga perempuan itu. “Di sini, tak ada yang berani mengganggumu jika kau datang bersamaku.”

Terdiam, Shania hanya menatap tak mengerti. Namun, sekali lagi ia tak punya pilihan selain menyeret kakinya masuk ke dalam restoran mengikuti langkah Ashton. Walau sedikit malu, ia tak punya pilihan lain selain menuruti pria itu. Ia sendiri juga pun penasaran dengan restoran besar itu dari dalam.

Walau terlihat ramai dan penuh, entah bagaimana Shania melihat para pelayan bisa mencarikan tempat untuk mereka. Bahkan memilihkan tempat kosong yang indah di dekat jendela kaca yang sangat besar. Di mana mereka bisa melihat kerlipan lampu-lampu yang ada di luar di jalanan sana.

Shania pun terpukau melihatnya. Walau dandanannya mungkin sedikit aneh untuk restoran yang indah itu, tetapi Shania tetap menikmati tempat itu. Sebelum kemudian suara Ashton mengintrupsi keterkagumannya.

“Indah, kan? Restoran ini aku sendiri yang kelola. Di luar dari perusahaan tentu saja.”

“Benarkah? Ini restoran yang sangat indah,” jawab Shania kagum.

“Ya, restoran ini kubeli salah satu sepupu perempuanku karena ia lebih memilih tinggal di Hawai dengan suaminya sekarang. Sejak dulu aku memang menyukai restoran dan setelah kubeli dari Lucinda sepupuku, aku menambah satu lantai lagi dan kudesainku kubuat semakin mewah namun nyaman. Aku meningkatkan supaya restoran bagian lantai teratas, yaitu lantai ini, agar semakin bisa melihat ke luar lebih baik.”

“Kau benar-benar tahu memperindah tempat. Tidak aneh memang, kau ‘kan cukup suka seni,” balas Shania membuat Ashton menerbitkan senyumanannya karena mendengar sedikit pujian Shania padanya.

“Kalau begitu kau mau makan apa?”

Pertanyaan Ashton membuat wajah Shania yang tadinya menatap perpukau pada pemandangan malam di luar sana, menatap sebal. “Ini sudah tengah malam, tentu saja aku sudah makan malam. Aku bahkan sudah meminum susu untuk pengantar tidurku.”

Embrace The WindМесто, где живут истории. Откройте их для себя