Embrace The Wind Part 28

8.2K 1.1K 129
                                    

"Itu salahmu sendiri. Siapa suruh kau menyuruh Irene menggantikanmu ke sana. Kau tidak tahu betapa susahnya mengatur pertemuan dengan anak Stuart dan kau kehilangan kesempatan itu begitu saja," ucap William-ayah Shania-dengan santai membaca koran di halam belakang rumah saat putrinya tiba-tiba berlari ke halaman itu lalu berucap kesal tentang hari ini.

"Tapi seharusnya ayah bilang kalau pria yang akan kau pertemukan dengan pelukis idolaku! Sekarang dia sudah terlanjur bertemu Irene. Aku tak tahu bagaimana caranya muncul di depannya nantinya," ucap Shania frustasi memandang ayahnya yang tetap santai di tempatnya.

"Itu tetaplah urusanmu. Ayah sudah menepati janji akan membuat kalian bertemu. Ayah bahkan sudah mengaturnya jauh saat kau masih di rumah sakit hingga ayah harus berbohong kalau kau sekolah di London agar mereka tak tahu bahwa kau sebenarnya sedang koma saat itu."

William kemudian melipat korannya, sebelum menatap putri satu-satunya itu.

"Dan Ayah tak bisa janji untuk mempertemukan kalian lagi. Kau tahu, Ashton sebenarnya sedikit menakutkan. Tatapannya itu benar-benar tajam."

Shania semakin kesal melihat tingkah konyol Ayahnya yang seolah menunjukkan ekspresi seolah ketakutan. Dari sebelum kecelakaan hingga sekarang, Ayahnya tetap sosok yang cukup menyebalkan.

"Baiklah, aku akan mencoba menemuinya sendiri."

"Hei," panggil William menahan Shania yang hendak berlalu pergi. "Jika kau benar-benar mencoba menemui Ashton, kusarankan kau jangan agresif padanya. Seidola apapun kau padanya jangan sampai membuatnya kesal. Tunangannya baru saja meninggal dan kata Stuart, akhir-akhir ini Ashton semakin sensitif. Ayah hanya tak ingin kau tersakiti."

Shania terdiam. Tak menyangka bahwa pelukis yang ternyata baru ia ketahui berstatus aslikan seorang presiden direktur di sebuah perusahaan IT yang cukup terkenal. Membuat Shania semakin kagum bahwa pria itu memiliki darah bisnis dan seni dalam tubuhnya.

Dia pun semakin tertarik saat ayahnya menyebutkan hal tentang tunangan Ashton yang meninggal. Entah kenapa kesedihan pria itu semakin menariknya untuk mendekat ke pria itu. Seolah ia ditakdirkan menjadi obat pria itu.

***

Jam baru menunjukkan pukul delapan malam, tetapi Shania sudah berada di atas kasur berwarna kuning keoranyeannya. Dalam posisi tertelungkup dan menyandang dadanya dengan bantal, Shania menatap lekat kertas yang diberikan Irene tadi. Kertas yang di berikan Ashton pada berisi tanda tangan dan nomor ponsel pria itu.

Lama menatapnya, dengan ragu, Shania kemudian menyentuh ponselnya sendiri. Dengan gugup pula ia perlahan mengetikkan nomor itu di ponselnya sebelum perlahan ia menyentuh tombol yang akan menyambungkannya dengan ponsel Ashton.

Suara sambungan yang mencoba menunggu penerimanya itu terdengar seriring suara jantung Shania yang berdegup kencang menunggu balasan Ashton. Shania bahkan sudah mengigit-gigit kecil kukunya menunggu detik demi detik Ashton mengangkatnya.

Namun, tak ada jawaban sama sekali. Hingga Shania mencoba untuk ketiga kalinya, tapi tetap tak ada balasan sama sekali. Membuat Shania menatap ponselnya bingung.

"Kenapa dia tidak mengangkatnya? Apa karena nomor yang tidak dia kenal? Atau dia tahu ini aku dan sengaja mengabaikannya? Apa Irene bersikap menyebalkan padanya tadi siang?" gumam Shania dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja mencul di kepalanya tanpa ada satu pun jawaban yang ia dapat.

Wajahnya pun nampak kecewa. Sudah lama ia menyukai lukisan-lukisan seorang pelukis rahasia yang hanya memakai nama Marc Black. Dan saat ia diberi kesempatan bertemu dengan pria itu, dia dengan bodohnya malah membuang kesempatannya sendiri.

Embrace The WindWhere stories live. Discover now