Embrace The Wind Part 12

7.7K 890 59
                                    

***

Perlahan namun pasti, Shania membuka matanya. Terasa sangat berat saat ia mencoba membuka kedua kelopak itu, seakan ia memaksakan mata milik Hannah terbuka bukan pada saatnya.

Namun, kegelapan yang sangat ia benci membuatnya melawan rasa berat itu. Tak ada yang lebih dibenci oleh Shania selain sadar dalam kegelapan seakan nyawa telah mati dan pergi meninggalkan semuanya.

Saat mata itu terbuka sempurna, pandangannya pun masih terasa berkunang-kunang dan kepalanya terasa berputar di tempat hingga membuatnya sangat pusing. Beberapa detik kemudian pening di kepalanya berangsur-angsur menghilang bersamaan kunang-kunang itu.

Shania pun menatap langit-langit ruangan yang menyapanya pertama kali. Shania sadar ini bukan langit-langit rumah Hannah. Langit-langit rumah Hannah tak seputih dan seterang ini.

Butuh beberapa saat untuk Shania menyadari bahwa ia sekarang ada di rumah sakit. Shania menatap tangan Hannah yang masih tampak ruam bintik merah kecil yang sekarang sudah tak terlalu kasat mata.

Mata Shania menjelajah perlahan. Bola matanya kemudian mendapati sebuah sosok beberapa detik setelah menatap tangan itu.

Ashton Rivers. Pria itu mendekatinya dengan tatapan takjub, entah takjub akan apa, yang penting ekspresinya itu sangatlah bersemi melihat Shania yang telah membuka matanya.

"Kau sudah sadar?"

Nada itu, nada lembut penuh kecemasan itu membuat Shania merasa damai hingga ingin menutup matanya lagi, ingin meresapinya lebih dalam. Namun, saat ia akan memejamkan matanya lagi, ia mengurungkan niatnya mendengar Ashton yang memanggil namanya lagi dengan lantang dan sedikit panik untuk melarangnya.

"Hei, ada apa?! Apa masih sakit?!"

Ya tuhan! Shania bersumpah, jika Ashton terus berbicara dengan nada seperti itu, dia pasti akan jatuh pada pesona Ashton. Pesona betapa Ashton cemas saat ini. Yang ia ketahui betul, kecemasannya itu hanya untuk Hannah karena Ashton mencemaskan raga Hannah.

"Kau bodoh! Kenapa minum wine?! Dia alergi berat pada alkohol!"

Butuh beberapa detik untuk Shania sadari bahwa yang dimaksud Ashton dengan 'dia' itu adalah Hannah. Hannah alergi pada alkohol. Berarti Shania tak boleh mencoba minuman itu lagi. Padahal Shania sangat suka rasa minuman anggur itu. Sayang sekali, kenapa harus minuman kesukaan Shania.

"Maaf." Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Shania melihat betapa cemasnya Ashton pada tubuh itu. Jujur, ia juga merasa sangat bersalah telah menempatkan tubuh Hannah dalam bahaya seperti tadi.

Ashton hanya bisa menghela nafas pasrah. Itu bukan salah Shania, seharusnya ia memperingatkan Shania sebelumnya. Apalagi salah satu menu minuman yang paling ditawarkan di buku menu memanglah wine. Seharusnya ia sudah mengantisipasi kejadian ini tepat setelah mereka memasuki restoran tadi. Namun, ia sadar, ia sendiri lalai. Dia mungkin hampir menghilangkan dua nyawa sekaligus.

Ashton secara otomatis meraih tangan Shania, menggenggamnya. Sungguh ia sangat cemas, apalagi mengingat betapa tersiksanya ekspresi semalam dengan tubuh yang tak kalah mengenaskan, membuat Ashton merasa sangat panik dan takut.

Ashton tak sadar, jika tindakannya memegang tangan yang sebenarnya memang tangan Hannah itu membuat Shania tertegun dan berdebar dalam diamnya. Ada rasa bahagia dan kesedihan di dalam hatinya dan ia tak tahu penyebabnya.

Saat Ashton menggenggam erat tangannya, ia merasa bahwa perasaannya itu seperti terisi, tetapi juga terasa menyiksa di saat yang sama.

"Istirahatlah, dokter mengatakan kau sudah bisa pulang besok," ucap Ashton.

Embrace The WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang