Chapter 34

728 76 28
                                    

Di sebuah restaurant mewah bernama ''Lafayette Restaurant", Toneri dan Hinata tengah menikmati hidangan makan malam yang terkesan sangat romantis. Ditemani oleh cahaya lilin. Tak ada siapapun direstaurant ini. Karena khusus untuk malam ini Toneri memang sengaja menyewanya.

Toneri meraih tangan Hinata, kemudian sebelah tangannya merogoh saku jas hitamnya dan mengambil sebuah kotak beludru berwarna merah. Dibukanya kotak itu dan terlihatlah sebuah cincin.

"Menikahlah denganku, Hinata! Ucap Toneri tegas.

"..." Hinata tak menjawab apa–apa, sebelah alisnya terangkat merasa heran sekaligus terkejut. Bahkan keterkejutannya meningkat membuatnya bergeming kaku.

''To-Toneri-San, apa kau sedang bercanda?" Hinata menjauhkan kotak beludru itu dengan perlahan.

"Apa kau menolakku?" Tanya Toneri lirih yang merasa sedikit kecewa dengan tindakan Hinata tersebut.

''Maafkan aku...'' Hinata menundukkan kepalanya merasa menyesal dengan apa yang telah dilakukannya, "A-aku ha-hanya tidak bisa.'' Ucap Hinata melanjutkan. Ada rasa teramat sakit menjalar diulu hati Toneri. Ditolak oleh gadis yang merebut hatinya itu.

''Aku mengerti. Pulanglah.'' Jawab Toneri dingin.

"Maafkan aku Toneri-San. Maafkan aku..." Hinata berucap lirih.

''KUBILANG PERGILAH! APA KAU TAK DENGAR HAH?'' Teriak Toneri yang emosi, makiannya keluar begitu saja membuat nyali Hinata menciut dan berlari meninggalkan Toneri dengan kemarahannya. Air bening dipelupuk mata keperakannya pun menganak sungai mendapat bentakan kejam seperti itu.

BRAAKKK...

''BRENGSEK!!! Kenapa kau tidak bisa melupakan Naruto sialan itu, Hinata?'' Teriak Toneri yang merasa kesal serta emosi terhadap Hinata itu.

PRANGGGG...

Gelas berdentingan pecah menatap lantai restaurant pun terdengar. Bak kehilangan kendali, Toneri mengamuk didalamnya. Luapan emosinya tak terbendung lagi. Ia merasa seperti kalah bahkan selalu kalah dari Naruto yang selalu bisa mematri hati Hinata meski Toneri sudah menjauhkannya hingga ke negeri Amerika ini.

''BRENGSEK...''

"Kau tidak akan berjalan sendiri Hana, aku akan menggendongmu." Konohamaru mencengkram lengan Hanabi, menghentikan gerakan gadis bermanik keperakan itu. Hanabi melayangkan tatapan protesnya.

"Kali ini saja kau jangan membantah, aku tahu kepalamu masih terasa sakit bukan?" Seru Konohamaru buru-buru melanjutkan sebelum Hanabi memberikan penolakan. Gadis itu hanya mengangguk pasrah membenarkan perkataan pria itu bahwa kepalanya memang masih terasa nyeri, nyut-nyutan dan mungkin ia tak akan sanggup berjalan apalagi pulang sendirian.

Konohamaru bergerak maju mendekati Hanabi, menyelipkan tangannya pada punggung dan di bawah lipatan kaki Hinata.

''Aku akan mengantarkanmu pulang.'' Ucap Konohamaru. Hanabi hanya tersenyum tipis, ia bahkan ragu untuk sekedar melingkarkan tangannya di leher Konohamaru.

Konohamaru melangkah santai di koridor Universitas yang sudah sepi mengingat ini sudah agak malam. Pria itu menunduk dan melihat Hanabi yang tengah ia gendong itu terlelap lagi di pelukannya.

Konohamaru tersenyum. Akankah perasaan cintanya mengalahkan rasa kekecewaannya dulu? Bahkan ia tak sanggup melihat sosok gadis yang dicintainya itu tergolek lemah tadi. Sebesar itukah cintanya?

Konohamaru membuka pintu mobil, ia perlahan meletakkan Hanabi meletakkannya dikursi depan.

"Aku bahkan tak sanggup harus berpura-pura dingin padamu, Hana. Andai kau mengerti perasaanku, aku akan bahagia." Dan Konohamaru mengecup kening gadis itu.

''Lekaslah sembuh...''

Kini mobil Konohamaru telah sampai di depan rumah Hanabi. Setelah membunyikan klakson beberapa kali, terlihatlah pria paruh baya  menghampiri Konohamaru.

Diliriknya wajah Hanabi yang begitu damai dalam tidur, entah mengapa ia merasa tak tega untuk membangunkan Hanabi. Ia keluar mobil untuk membuka pintu di sisi satunya, meraih tubuh Hanabi untuk ia gendong ala bridal.

"Ya ampun, Hanabi kau merepotkan saja." Ucap Hiashi ketika melihat siapa yang berada dalam gendongan Konohamaru, ''Kau antar Hana ke kamarnya ya?"

"Iya Jii-San...'' Jawab Konohamaru sopan seraya menyunggingkan senyumnya.

"Ya sudah, mari Jii-San tunjukan kamar Hana."

Konohamaru pun mengikuti Hiashi hingga sampai di depan sebuah kamar, Hiashi pun lantas membukakan pintu, mempermudah langkah Konohamaru yang dengan hati-hatinya kini meletakan tubuh Hanabi di atas sebuah ranjang.

"Ada apa dengan Hana?'' Tanya Hiashi dengan raut wajah khawatir sembari mengelus wajah putrinya itu yang damai dalam tidurnya.

''Hana demam di Universitas, Jii-San.''

"Terimakasih nak." Gumam Hiashi dengan tersenyum.

Langit kota Washington benar-benar sangat gelap. Udara pun mulai berubah menjadi sangat dingin. Tampaknya langit kota ikut menangis, mengiringi kesedihan hati Hinata malam ini.

Ia tak menyangka akan mendapat bentakan dari Toneri yang berujung pengusiran. Entah ia yang bersalah atau bukan, tetap saja membuat hati Hinata digelayuti nyeri. Ia memang ingin melupakan semuanya, tetapi entah mengapa rasanya sangat sulit melupakan begitu saja perasaannya pada sosok pria bersurai kuning di Tokyo.

Ah, mungkin Naruto-Kun sudah berbahagia dengan Hana. Pikir Hinata.

Nyatanya aku tak bisa berhenti mencintaimu,,, Ini kulakukan hanya menguji bisakah aku hidup tanpamu

''Naruto-Kun...'' Lirih Hinata.

Suaranya sungguh sangat merobek ulu hati.

Tubuh Hinata sudah sangat menggigil sekarang. Wajahnya memucat dan bibirnya berubah biru. Tapi gadis itu masih enggan untuk menjauh dari hujan. Ia berharap tetetan air hujan yang banyak ini dapat meluapkan segala kesedihannya.

Hinata masih terisak, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri mencoba memberikan sedikit kehangatan. Ia terus menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kesedihan dan kedinginannya. Meski apartemennya sudah dekat didepan matanya.

"Naruto-Kun...'' Lirihnya lagi memanggil nama pria yang sudah terpatri di hati dan ingatannya. Ia seolah berharap jika sosok pria itu ada dihadapannya sekarang. Tapi percuma bukan? Bak punuk merindukan bulan, semua itu hanya khayalan.


Sejatinya berpura melupakan adalah hanya pelarian dari kenyataan bahwa dirinya sangat begitu mencintai


"Seharusnya kau tak hujan-hujanan begini, Hinata-Chan..." Bisik seorang pria di telinga Hinata.

Hinata tersentak mendengar suara lembut itu. Pandangannya memang mengabur, tapi pendengarannya masih jelas dan ia mengenal suara itu.
Hinata membalikkan tubuhnya dengan cepat ke sumber suara.

"Na... Naruto-Kun!" Jengitnya kaget. Naruto memayungi Hinata dengan jaketnya, melindungi Hinata dari derasnya hujan.

Pria bersurai kuning itu tersenyum lembut padanya. Entah kenapa, hati Hinata terasa sangat hangat dan damai saat melihat senyuman Naruto. Seketika ia seolah berada dalam mimpi. Benarkah ini nyata prianya itu dihadapannya sekarang?


Bersambung...

Yuuhuuuuu akhirnya babang Naru ketemu juga dengan Hime😆😆

Vomennya😘😘

My Beloved SisterWhere stories live. Discover now