17. Kesedihan Yang Mendalam

111K 8.5K 153
                                    

Beberapa saat kemudian, Naran datang dengan wajah yang terlihat sedang ceria dan senang. Setelah menaruh tasnya ditempat duduknya, ia menghampiriku yang sedang berdiri menatap Rachel.

"Pagi, Evie. Itu anak-anak ngapain pada ngumpul diluar?" Tanya Naran lalu tersenyum.

"Ga tau, tanya aja sendiri." Sahutku agak sedikit cuek. "Kenapa, lagi senang ya?" Lanjutku.

"Iya, hari ini orang tuaku pergi keluar negeri selama beberapa minggu, jadi aku sendirian dirumah!"

"Soal orang tuaku, kamu sudah dengar kabarnya?".

Senyuman diwajah Naran mendadak pudar.

"Maaf ya, turut berduka." Naran menundukkan kepalanya.

"Saat aku kehilangan mereka dan bersedih. Kamu kehilangan mereka malah senang."

"Apaan sih? Mereka ga akan ninggalin aku selamanya."

"Takdir ga ada yang tau, ga ada yang tau kapan seseorang akan meninggal." aku tersenyum tipis, "Kamu ga marah lagi sama aku?" Lanjutku

Naran menggeleng.

"Nggak, kita kan teman. Maaf ya sudah kasar, aku sadar cinta itu ga bisa dipaksain. Jadi aku ga akan maksa kamu dan buat kamu ga nyaman." Naran tersenyum lebar. "Dan, soal gosip itu... Kamu udah tau?" Tanya Naran sambil menatapku serius.

Anak-anak diluar kelas pura-pura tidak tau apa-apa seakan tiada apapun yang terjadi, mereka hanya pura-pura asik sendiri.

"Tau, soal aku penyebab kematian orang tuaku kan?" Tanyaku balik dengan nada santai.

"Jangan dianggap serius. Gosip itu ga ada yang benar, aku pasti belain kamu." Ucap Naran kemudian ia menepuk pundakku.

"Ga, aku ga ngganggep itu serius." aku berusaha meyakinkan Naran, "Anak itu, siapa sih?" Tanyaku pada Naran sambil menunjuk perempuan yang tadi minta maaf padaku.

"Itu, Amy. Kenapa?"

"Aku benci dia." sahutku kemudian tersenyum tipis.

"Kenapa? Dia lukain kamu?"

"Nggak, dia cuma bilang hal kasar ke aku, aku ga suka."

"Amy emang kayak gitu, kalau udah berbuat akhirnya pasti minta maaf. Banyak temennya, tapi ga sedikit juga musuhnya."

Saat bel berbunyi, akhirnya anak-anak yang menunggu diluar langsung berlarian masuk kekelas tanpa berani menatapku.

"Lihatkan, cuma disindir begitu doang udah lemah." Batinku, senang.

"Kalau aku lemah, aku akan dibully. Kalau aku kuat, aku akan ditakuti. Aku lebih memilih kuat, karena aku tidak ingin lagi disakiti. Kepergian orang tuaku sudah sangat menyakitkanku." Batinku lagi.

Bibir ini enggan mengukir sedikit senyuman, air mata kian turun menderas saat aku sendirian disebuah tempat, memikirkan hari dimana kecelakaan itu terjadi. Aku rasa gosip itu benar. Aku membunuh orang tuaku, andai aku tidak setuju untuk jalan-jalan waktu itu, mereka pasti akan baik-baik saja.

Walau aku melihat tumpukan roti keju kesukaanku, aku tetap enggan untuk makan. Seenak apapun makanan itu, tetap saja terasa pahit dilidahku.

Dokter mengijinkan ku sekolah bukan berarti mengijinkanku pulang juga, ia meminta setelah selesai sekolah sebaiknya aku kembali kerumah sakit untuk menghindari trauma, atau depresi suatu saat nanti.

[✔] Indigo Girl - SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now