2. Teman Indigo

222K 15.8K 949
                                    

Begitu jam pelajaran selesai, lonceng pertanda istirahatpun berbunyi. Beberapa siswa lainnya mendekati mejaku dan menanyakan nama, asal sekolah, umur dan hobiku.

"Kalian tidak akan berteman denganku dalam jangka waktu yang lama, sebentar lagi kalian pasti akan menjauhiku atau memusuhiku. Percayalah!" Ucapku kepada mereka semua yang ingin berteman denganku.

"Aneh banget, ga mau punya teman? Siapa yang ga mau punya teman banyak?" Batin laki-laki tadi yang sejak awal sudah kubaca pikirannya.

"Dia lagi..." batinku.

Aku melangkah perlahan mendekati laki-laki itu yang sedang duduk dibangkunya sambil menatapku.

"Aku tidak menolak jika diberi banyak teman. Tapi, aku tidak ingin teman yang berteman denganku untuk sementara, aku ingin kami berteman selamanya." Ucapku pelan sambil menatap tajam cowok itu.

Laki-laki itu menoleh sembari mengernyitkan dahinya, "Kamu ngomong apa sih?!" Tanya laki-laki itu dengan nada kesal.

"Dia barusan ngejawab pertanyaan ku yang aku pikirin ya?" Batin laki-laki itu lagi.

"Iya, Aku menjawab pertanyaan yang kamu pikirkan." Sahutku sambil menatapnya.

Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya tersenyum miring, "Kamu bisa baca pikiran ya?"

Aku menunduk sebentar, lalu menggangguk pelan. Laki-laki itu langsung mengulurkan tangannya lalu menyebutkan namanya.

"Namaku Riyoko Naranda, Kamu bisa panggil aku Naran." Ucap cowok yang disebut sebagai Naran itu sambil menungguku menjabat tangannya.

Aku menjabat tangannya yang terasa hangat dan lembut.

"Eveline Adalina, Evie." Ucapku singkat lalu melepaskan jabatan tangannya.

Saat anak-anak pergi ke kantin dan kelas mulai sepi, hanya sisa aku dan Naran yang tersisa dikelas.

Naran mengajakku mengobrol dan duduk ditempat dudukku.

"Kamu bukan orang biasa kan?"

Aku mengernyit, tak sepenuhnya paham dengan ungkapan Naran, "Maksudmu?"

"Aku lihat, kamu mengobrol sama Chesie si hantu pengantin itu, kan?"

"Kamu bisa lihat Chesie?"

"Tidak menyangka, bisa punya teman sekelas sesama berbeda." Naran tersenyum sambil menatap lurus kemudian menoleh dan menatapku, "Soal teman, awalnya aku memang dianggap aneh tapi semakin lama mereka semakin menghargai keberadaanku, bantu mereka, itu akan membuat mereka berpikir positif tentangmu. Setidaknya mereka tidak menuduhmu gila." Jelas Naran lagi.

"Kamu lebih sempurna dariku. Tidak banyak indigo yang bisa sesuatu selain melihat hantu." Lanjut Naran lagi.

Aku menatap dalam mata Naran. Sekilas, aku melihat kesedihan terbesar yang pernah dialami Naran. Aku melihat rumah Naran dibakar oleh warga sekitar karna Naran dianggap pembawa sial, karena kebakaran itu ibu Naran sampai tewas terbakar hidup-hidup.

Aku melihat tangisan Naran yang tak rela melepas kepergian sang ibu. Tangisan yang tak terhenti, kesedihan mendalam yang tetap ia simpan walau menyakitkan.

Napasku memburu begitu mendapat penglihatan soal kesedihan terbesar Naran dalam kehidupannya. Itu membuat Naran menanyakan kabarku.

"Kamu, tidak punya ibu?" Pertanyaan yang kutanyakan tanpa kupikirkan resikonya.

Naran terdiam sejenak, mengingat masa kecil yang indah saat masih dipangkuan ibunya.

"Kebakaran itu membuat ibumu meninggal, kan?"

Naran menggangguk perlahan. Lalu ia tersenyum tipis. "Aku sudah melupakan hal itu, jadi tenang saja" Ucap Naran lalu menepuk pundak kiriku.

"Aku bisa melihat kesedihan terbesar seseorang dalam hidupnya dengan cara menatap matanya. Aku juga bisa melihat kebahagiaan terbesar yang mereka inginkan. Aku bisa membaca pikiran seseorang, dan melihat hantu."

Aku merasa memiliki teman sejenis denganku, Kami tau betapa menderitanya menjadi seorang anak indigo yang tak terhindar dari penampakan hantu dan permintaan tolong mereka, mereka yang selalu mengganggu dan terlihat menyeramkan.

***


[✔] Indigo Girl - SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now