Bagian 24

307 20 8
                                    

Rencana tidur awal ba'da isya gagal. Jam delapan Rafa malah duduk di sebuah restoran bersama papa dan kakeknya dengan pakaian rapi. Kata papanya ada acara makan malam keluarga. Anehnya, mamanya malah enggan ikut. Ia bersikukuh tidak mau ikut. Malah memberi wejangan kepadanya untuk berhati-hati dan kuatkan keyakinan. Rasanya seperti akan pergi merantau, begitu juga yang dikatakan mamanya ketika pertama kali ia ditinggalkan di US. Ia gelisah karena takut tidak bisa bangun segar pagi-pagi demi rencananya juga karena sorot mata khawatir mamanya.

Di seberang meja makan duduk pula Pak Gunadi beserta cucunya yang cantik. Makan malam pun berjalan biasa. Rafa hanya makan sedikit tidak berselera. Ia tidak juga berniat ikut ngobrol dengan para angkatan tua itu.

"Kamu kapan berangkat lagi?" katanya pelan, berwibawa, khas wanita pekerja mandiri. Padahal ia masih kuliah semester akhir. Dia juga pewaris tunggal. Apa yang dikejarnya? Semua sudah ada, baginya bersikap formal seperti itu hanya bagi kalangan pekerja yang mendamba jenjang karir. Sedangkan bagi dirinya dan mungkin gadis di sebelahnya, karir menjadi sesuatu yang tidak untuk didambakan apalagi dikhayalkan. Mungkin karena ia pernah magang kerja seperti dirinya. Beberapa orang memang akan berubah apalagi di lingkungan kerja yang menuntut kita menjadi pemimpin, mau tidak mau harus berupaya tampil berwibawa. Atau itu hanya pembawaannya saja? pikir Rafa merasa harus memikirkan perilaku Tiara yang seharusnya lebih mirip dirinya. Misal Arga saja dia tidak sekaku dan seformal ini. Ah! Benar! Kenapa pula harus memikirkan hal seperti ini? pikirnya lagi kemudian tersenyum geli tanpa terlihat siapapun.

"Oh, mungkin seminggu lagi," jawabnya kemudian setelah berpikir cukup lama untuk sesuatu yang tidak memerlukan waktu untuk berpikir panjang.

Tiara melirik sekilas demi jawaban yang ditunggunya, "Aku dua hari lagi," katanya seperti bingung mau berkata apa lagi. Ia pun memilih memotong daging setengah matang di hadapannya untuk mengisi waktu kosong diantara pembicaraan yang belum terbangun.

Lama mendengarkan obrolan-obrolan yang bukan minatnya membuat Rafa mati gaya. Dia hanya menimpali satu dua kemudian bengong. Tidak ada niat juga berbincang dengan gadis cantik di sampingnya. Akhirnya ia pergi ke toilet untuk membunuh waktu.

"Rafa?" Seseorang malah memanggilnya ketika ia berjalan santai menuju toilet.

Rafa membalikkan badan. Ia kenal suara itu. "Chelsea?"

"Kamu sedang apa di sini? Eh, maksud aku sama siapa?"

"Biasa acara keluarga, lah Lu?"

"Oh gue sama mama angkat gue. Inget kan pemilik Intan Group."

"Oh."

Tidak seperti biasanya, Rafa tidak memperpanjang tentang mama angkat ini. Memperolok yang dulu biasa ia lakukan. Mungkin karena hal yang menimpa dirinya, pikir Chelsea.

"Rafa, kok malah di sini Kamu?"

Rafa dan Chelsea serentak menoleh ke arah suara lembut nan berwibawa kali ini sedikit manja milik si gadis cantik bermama Tiara. Chelsea shocked melihat Tiara. Dia tahu gadis ini. Apa sih yang Chelsea tidak tahu tentang kalangan jetset ibu kota. Chelsea memandang penuh tanya ke arah Rafa.

"Iya nih ketemu teman," jawab Rafa yang lagi-lagi biasa dan sesingkat mungkin.

Tiara melihat ke arah Chelsea kemudian tersenyum sambil mengangguk, "hallo," katanya sambil mengulurkan tangan mulusnya yang panjang dan lentik.

Chelsea menyambutnya ragu. "Hai," jawabnya. "Chelsea," katanya lagi antara terpukau dengan pesonanya dan rasa penasaran yang membesar.

"Tiara. Kamu temannya Rafa?"

Chelsea mengangguk. "Ya betul." Ia memandang ke arah Rafa kemudian Tiara. Seperti ada sesuatu. Tapi, Chelsea enggan memikirkan kemungkinan-kemungkinan karena ia takut. Takut jika benar.

AishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang