Bagian 1

1K 40 2
                                    

Malam semakin larut. Airin sudah terlelap sedari tadi. Umma masih menunggu sambil menyelesaikan pesanan jahit. Aisha belum pulang. Jam dinding menunjuk angka sepuluh. Tidak biasanya.

"Assalamu'alaykum warrohmatullohi wa barakatuh..."

"Wa'alaykum salam..." buru-buru menuju pintu. Itu Aisha. Segera pintu dibukakan. "Nak, kok malam sekali ?"

"Iya Umma maafkan Aisha."

"Umma, Aisha, kalau begitu Dewi pamit dulu, sudah malam."

"Iya Nak Dewi terima kasih telah menemani Aisha, hati-hati..."

Setelah pintu ditutup, Aisha dan Umma merasa ada sesuatu yang sangat jauh dan sepi menyelimuti mereka. Alih-alih tidur keduanya duduk di ruang tamu, berduaan, bersampingan, dekat tapi entah apa yang harus dibicarakan. Mereka teringat tentang Abi. Tentang kepindahan ke Jakarta. Tentang semua kejadian dua bulan terakhir ini. Dan bisakah mereka bertahan di kota besar ini tanpa Abi?

"Umma, tadi Aisha ketemu Rafa..."

"Iya Nak, bagaimana?"

"Aisha tidak tahu setelah malam ini. Rasanya Aisha tidak sanggup bertemu kembali dengan Rafa. Bukankah kata Umma perasaan sayang kepada seseorang hanya akan diridhoi kecuali dalam ikatan yang suci?"

"Benar Nak."

"Lalu bagaimana dengan Aisha? Bisakah bertemu kembali seakan tidak terjadi apa-apa, bisakah Aisha menjaga hati setelah semuanya jelas? Umma..."

"Aisha masalah kamu dengan Nak Rafa telah banyak menguras tenaga dan fikiran. Rasa-rasanya kembali ke Sukabumi akan lebih baik. Kita bisa damai seperti dulu dan keluarga Pak Bagas pun bisa kembali seperti sedia kala." Umma terlihat menerawang jauh sambil mengelus kepala Aisha yang bersandar di pundaknya. "Sejak kepergian Abi, kamu tahu Nak, Umma sebenarnya ingin kembali ke Sukabumi. Kita ke Jakarta kan ikut Abi."

"Iya Umma, tapi bagaimana dengan beasiswa Aisha dan uang ganti ruginya, terus di Sukabumi kita mau tinggal di mana?"

"Aisha Sukabumi adalah kampung halaman kita. Tidak ada rumah, di sana banyak saudara. Di sini Umma pun merasa amat sangat kesepian. Umma ikhlas dengan kepergian Abi, tapi rasa sepi ini menelusuk setiap malam Nak." Tangis pun pecah. Malam menjadi saksi betapa sunyi sepi menekan jauh ke dalam sana.

Aisha semakin erat memeluk Umma. Ia dapat merasakan apa yang Umma rasakan. Betapa, sendiri dengan dua anak di kota terbesar tanpa penghasilan yang menjanjikan. Tanpa keluarga, sahabat tempat berkeluh kesah, dan lingkungan yang sebenarnya masih cukup asing bagi umma tanpa abi.

Bukankah akan jauh lebih baik jika mereka kembali? Tante Lia? Aisha kemudian teringat dengan Mama nya Rafa. Bukankah Tante Lia tidak suka jika Rafa terlalu dekat dengannya? Aisha bertekad besok ia akan menemui Tante Lia.

Malam semakin dalam. Jakarta masih hidup, suara lalu lalang kendaraan sekali dua masih terdengar. Aisha dan Umma terlihat menunaikan tahajud kemudian tertidur pulas di pelukan malam.

Pagi hari seperti biasa Aisha pamit berangkat sekolah. Mengayuh sepeda dan berbelok di jalanan besar ke arah yang tidak biasa. Ia sudah bulat menemui Tante Lia pagi ini. Ia sudah minta tolong Dewi untuk izin tidak masuk sekolah.

Setelah berurusan dengan satpam rumah Pak Bagas akhirnya bisa bertemu dengan Bi Ijah.

"Non Aisha, apa kabar? Kok baru kelihatan? Den Rafa sudah berangkat dari tadi."

"Assalamu'alaykum warrohmatullohi wa barokatuh..."

"Wa'alaykumsalam wartohmatullohi qa barokatuh..."

"Iya Bi, alhamdulillah saya baik, saya ke sini mau ketemu Tante Lia."

"Nyonya ada Non, lagi sarapan. Sebentar ya Bibi kasih tau dulu."

AishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang