"Tanya sama putrimu ini." Jawab mama ketus sambil menunjukku. "Di suruh menjemput, malah membuat anak orang nangis." Beritahu mama sinis.

Kini beralih papa menatapku. "Benar apa kata mamamu, An?

Aku diam tidak tahu harus menjawab apa.

Suasana berubah menjadi hening. Papa masih menunggu jawabanku, mama masih melihatku dengan penuh amarah, sedangkan aku memilih diam untuk tidak mengeluarkan sepatah katapun. Di tengah keheningan yang kami ciptakan tiba tiba Josan berseru memanggil ayahnya. Yang datang tanpa kami sadari.

"Ayah...!"

Serentak kami berbalik melihat Argenta yang berdiri di belakang kami. Josan segera berlari menghampiri ayahnya. Dengan cepat Argenta langsung mengangkat Josan ke dalam gendongannya. Argenta memeluk Josan dengan penuh kerinduan. Sedangkan Josan hanya tertawa senang sambil menciumi pipi ayahnya. Melihat interaksi mereka, mama berjalan menghampiri mereka.

"Kapan sampai, Gen?"

"Barusan ma," jawab Argenta sopan. Argenta tak juga menurunkan Josan dari gendongannya. Aku melihat ini bukan hanya mengenai kerinduannya terhadap putranya tersebut, melainkan seolah olah Argenta ingin melindungi Josan dariku. Aku menduga Argenta mendengar pertengkaran kami tadi.

Melihat mama dan papa yang berbincang bincang dengan Argenta, aku merasa ini kesempatanku untuk naik ke atas menuju kamarku. Syukurlah tidak ada yang melarangku untuk naik ke atas. Hanya mama yang memandangku sekilas dengan tatapan tajam. Kurasa baik mama atau papa tidak mau membahas hal ini di depan Argenta.

Begitu sampai di kamar aku langsung menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Mendengar ucapan mama  yang merembes ke mana mana tanpa dapat dilawan, benar benar menguras habis tenagaku.

Ketika aku hampir memejamkan mataku, aku terbangun saat mendengar ketukan pintu dari luar. Dengan malas aku bangkit berjalan untuk membuka pintu. Tebakanku ini pasti mama yang ingin menyambung kemarahannya yang harus terhenti tadi karena kedatangan Argenta. Kalau tidak mama, pasti papa yang ingin menanyaiku.

Ternyata tebakanku salah. Orang yang berdiri di hadapanku sekarang adalah bukan mama atau papa, melainkan Argenta.

"Ngapain kamu ke mari?" Tanyaku tidak suka.

"Josan telah menceritakan kejadian sebenarnya." Ucap Argenta tanpa menghiraukan sikapku."Terimakasih atas bantuannya." Sambung Argenta dengan sedikit senyuman yang menghiasi bibirnya.

Sudahkah pernah ku katakan bahwa aku sangat membenci pria yang berdiri di hadapanku sekarang. Mau sebaik apapapun sikapnya, atau sebagus manapun kata katanya tetap saja membuatku marah. "Aku tidak menyangka putramu pengkhianat juga." Mendengar ucapanku senyum tipis yang ada di wajah Argenta hilang sudah. "Aku telah mengingatkannya untuk tidak memberitahu siapapun mengenai insiden tadi, tetapi tetap saja putramu itu mengkhianatiku. Ternyata selain banci putramu itu juga seorang pengkhianat. Dia mirip sepertimu. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Kataku sarkastik.Kini bukan hanya senyumnya saja yang hilang, wajah Argenta juga mengeras, menampakkan kalau dia marah dengan kata kataku.

"Tarik ucapanmu. Kamu tidak berhak mengata-ngatai putraku!"

Aku sama sekali tidak takut melihat kemarahan yang terpancar jelas di wajahnya. "Karena dia putramu maka aku mengatakan seperti itu." Tantangku balik. Setelah tujuh tahun untuk pertama kalinya kami dapat berbicara. Sayangnya aku tidak dapat mengendalikan kebencianku.

Suara langkah kaki yang naik ke atas membuat kami menoleh untuk melihat siapa yang datang. Aku menghembuskan nafas kesal melihat mama yang datang ke atas.

"Kamu sudah minta maaf kepada Argenta karena telah memarahi Josan? Kalimat pertama yang di ucapkan mama begitu berdiri di sampingku."Untung saja Argenta berkepala dingin, jadi tidak langsung menyimpulkan bahwa kamu yang salah. Seharusnya kamu bersyukur Argenta mau nemuin kamu untuk berterimakasih. Lepas dari kelakuanmu yang kekanak kanakan itu." Kali ini aku merasa mama tidak bicara pada tempatnya. "Jadi, kamu sudah minta maaf?" Mama menatapku dan Argenta bergantian.

Terukir Indah NamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang