38 || TIDAK SELAMANYA

509 58 10
                                    

Hadeuh telat update.. Lagi flu berat.. Doain cepet sembuh ya lovelies.. Kesian si dede bayi di perut takut kena efeknya juga..

Anyway, for those of you yang ikut Earth Hour minggu lalu, terima kasih banyak! Semoga amal baik kalian dibalas berlipat-lipat di kemudian hari ^^

-

The most painful goodbyes are the ones that are never said and never explained.

- Bilal Nasir Khan -


Masih belum sadar sepenuhnya, Rora melirik weker di nakas samping tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, waktunya bangun dan beraktivitas.

Si ratu dingin duduk dengan perlahan, menenggak segelas air putih, kemudian meregangkan tubuh. Dia mengerang saat lehernya berdenyut pegal. Tiga hari berlalu, tapi kelelahan masih setia menempel. Wajar, mengingat waktu perjalanan yang ia habiskan dan momen-momen yang ia lewati.

Gadis itu belum terhubung dengan teman baiknya lagi. Mungkin karena Kandar juga kelelahan, atau ada urusan keluarga yang harus diselesaikan dulu. Bisa jadi si bintang emas mencoba menghubungi si kancil, tapi dengan binasanya smartphone mereka berdua, hal tersebut rasanya tidak memungkinkan.

Di malam setelah perpisahan selesai, Kandar menyempatkan diri untuk mampir dan menengok Rora. Untungnya gadis tersebut sudah tertidur karena kecapekan, sehingga sang idola sekolah pulang tanpa membawa hasil. Yah, si kancil tidak perlu berbohong malam itu—dan dia juga tidak perlu melihat wajah sahabatnya untuk sementara waktu, itu yang terpenting.

Aurora melirik kalendernya, menghela nafas dalam-dalam. Dia sedang berjudi.

Perasaan ini bercampur aduk. Antara lega karena bisa menghindari masalah dan patah hati, dan panik luar biasa karena waktu bersama Kandar semakin menipis. Dia mencoba untuk tidak memikirkan yang terakhir, tapi dengan mimpi buruk yang membuatnya sesak nafas setiap malam, hal tersebut semakin susah untuk dilakukan.

Si juara kelas merasa tidak berdaya, hal yang paling ia benci.

"Ara-chan, udah bangun belom?" Terdengar ketukan halus dari pintu kamar, diiringi oleh suara Kenzo yang masih mengantuk.

Gadis itu menoleh. "Udah, kenapa bang?"

"Kandar nelepon nih, mau ngomong sama lo katanya."

Tidak ada jawaban dari dalam, dan untuk sepersekian detik, Kenzo mengira adiknya mungkin masih tertidur dan suara barusan hanyalah igauannya. Hanya saja, dugaan tersebut terbukti tidak tepat ketika pintu di depannya menjeblak terbuka, dan Rora dengan rambutnya yang sekarang pendek dan mencuat ke sana-sini, bergegas keluar seperti orang kesetanan—matanya yang merah karena baru bangun sama sekali tidak membantu, begitu juga dengan bekas bantal di wajah. Sebuah ransel menempel mesra di punggungnya.

Sang kakak tidak berdaya saat si imouto menyambar smartphone-nya, dan menekan tombol bisu.

"Aduh, gue lagi buru-buru mau bikin makalah buat beasiswa!" Rora menepuk keningnya keras-keras. Smartphone yang malang masih disekap dalam cengkraman tangan besinya.

Alis Kenzo terangkat. "Pake piama?" tanya anak laki-laki itu kebingungan, melirik baju tidur si kancil yang bergambar bebek.

"Iya, buru-buru banget—nih kesiangan," Rora serta merta mengangguk. "Bilang 'aja sama dia buat take care dan sukses ya!" ujarnya cepat-cepat, melempar smartphone Kenzo kembali pada pemiliknya, dan bergegas pagi.

ROAD TRIP! (COMPLETE)Where stories live. Discover now