35 || YANG TERBAIK UNTUKMU

454 56 10
                                    

A/N: Senangnya pagi-pagi dah bisa update.. = 7 = *ceritanya sambil menyesap kopi
Have a nice weekend and don't forget to hug your parents!

-

Our parents deserve our honor and respect for giving us life itself.
Beyond this they almost always made countless sacrifices as they cared for and nurtured us
through our infancy and childhood, provided us with the necessities of life,
and nursed us through physical illnesses and the emotional stresses of growing up.

- Ezra Taft Benson -


"Oke, pa.." Aurora berbalik dari pintu dan mulai latihan. "Sebelum papa marah-marah, biarin Rora bicara duluan. Rora mau minta maaf tentang dua hal, yang pertama karena udah lari dari rumah—meskipun Rora sama sekali nggak menyesalinya—tapi yah, Rora tetep minta maaf karena nggak bermaksud ngasih serangan jantung ke keluarga kita," gadis itu tertawa dengan gugup, merasa permintaannya begitu payah sampai-sampai tidak akan diterima.

"Dan yang kedua, Rora minta maaf karena Rora adalah sebuah kekecewaan untuk papa, karena bahkan setelah pergi dan melihat dunia, Rora masih nggak bisa mengorbankan mimpi Rora dan adapun juga.." Di bagian ini, gadis itu menegakkan dirinya dan terlihat menggebu-gebu; tangannya yang gemetar terkepal erat, sinar matanya menyorot yakin. "Rora udah bertekad kalau Rora nggak akan mengorbankan mimpi itu sama sekali!"

"Ya ampun.." Yah, meski pada akhirnya si cabe rawit melemas lagi. Dia bisa membayangkan kemarahan papa saat mereka berargumen seperti biasa, apalagi saat dia sudah kabur dari rumah sekarang? "Dia pasti bakal ngamuk.." bisik Rora ketakutan, mengunyah ujung jari kanannnya.

Bukannya dia tidak bisa berargumen dengan papa, dia hanya tidak ingin! Anak ini lelah dan ingin berdamai.. Dia menginginkan ayah yang selalu mendukungnya kembali, ayah yang selalu bangga dengan apapun yang ia lakukan, seperti saat dia berumur lima tahun dan membuat kue lumpur di halaman. Rasanya seperti masih kemarin, saat papa memuji Aurora sambil tertawa riang, menyemangati putrinya untuk menjadi koki kalau memang itu yang ia inginkan.

Kemana diri papa yang itu..? Apa dan siapa yang membuatnya menghilang? Apakah Rora sendiri? Memikirkannya membuat gadis itu ingin menangis.

"Sebelum kamu lanjut, Aurora, supaya kita jelas.."

Sebuah deheman halus terdengar dari arah pintu, membuat si ratu dingin melompat terkejut. Dia cepat-cepat berbalik, dan matanya membelalak tidak percaya.

Bless you Kenzo! Pemuda itu sudah diusir dan berkata kalau akan memberi sedikit waktu, tapi apa yang malah ia lakukan, meski lebih menakutkan, barangkali adalah yang terbaik.

"Kamu bukan, dan tidak akan pernah menjadi sebuah kekecewaan untuk papa." Karena di sanalah ayah Aurora berdiri, dengan postur tenang dan ekspresi yang damai.

Nafas si kancil tercekat di tenggorokan, insting untuk lari menendang keras-keras. Tapi entah bagaimana, kakinya mantap menapak di tempat—mungkin karena terlalu kaget.

"Papa juga minta maaf, nak. Karena sudah sangat keras kepala dan memaksakan ambisi papa pada kamu.." Laki-laki di depannya menghela nafas dan berjalan mendekat. "Papa lupa, kamu masih muda. Dan berbeda dengan anak-anak muda seumuran kamu, kamu adalah anak perempuan dengan keinginan kuat," ekspresi papa terlihat sedih, membuat hati putrinya berdenyut ngilu. "Sama keras kepalanya, seperti ibumu," seulas senyum khidmat terlukis di bibirnya saat mereka berhadapan.

Saat itu juga, baru Rora sadar kalau ayahnya ini sudah tua, dan sama lelahnya dengan dia. "Pa!" Tanpa membuang waktu, anak perempuan itu melompat ke rengkuhan ayahnya, memeluk beliau erat-erat. Dalam isak tangis dan dekapannya, tercurah seluruh penyesalan dan permintaan maaf. Dan dari cara papa mengembalikan kasih sayangnya, dia tahu kalau dia sudah dimaafkan. "Papa nggak marah?"

ROAD TRIP! (COMPLETE)Where stories live. Discover now