Chapter 39 : Cousin?

1K 55 2
                                    

~~~

Aku yakin ini hanya perasaanku saja. Aku hanya terlambat datang bulan. Ciri- ciri seorang wanita hamil adalah, terlambat datang bulan, mual, pusing, muntah- muntah bahkan mengidam. Tapi aku hanya memiliki satu dari ciri- ciri itu. Tadi aku mual karena melihat benda menjijikan itu kan? Jadi kemungkinan besar aku tidak hamil. Hah, cukup untuk membayangkan hal yang tak mungkin terjadi, Shell.

Jam sudah menunjukan pukul 3 sore. Dan tiba-tiba pintu kamar terbuka, menampakan sosok lelaki berambut curly yang berjalan masuk sembari melonggarkan dasi yang terikat di leher kemejanya. Well, aku jadi ingat saat Scarla menghubunginya dan mengatakan jawaban atas semua pertanyaanku pada Harry.

Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir kami. Lelaki yang kini tengah sibuk melepas semua pakaiannya dan menaruhnya di kernjang kini mulai menatapku. Ia shirtless dan hanya memakai boxer hitam ketat miliknya. Shit! Apa-apaan yang ia lakukan?

"Aku mau kau ikut aku makan malam. Mom memintaku untuk makan di luar dan memberikan voucher dinner di salah satu resto," jelasnya lalu memberikan dua voucher dinner itu padaku. Twilight resto. Restoran terbaik di London.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku acuh. Sejujurnya, aku tak mau berbicara dulu dengannya. Aku ingin istirahat sejenak dari semua yang ada di pikiranku sekarang. Terutama tentangnya.
Harry duduk disebelahku sembari menatapku heran. Kuangkat kedua alisku membalas tatapannya. "Mengapa kau diam?"

"Aku harus bicara apa?" balasku balik bertanya padanya dengan pertanyaan tolol. Aku hanya ingin membuatnya berhenti bicara. Ia mengacak rambutnya lalu berbaring hingga membuat kasur berguncang sebentar.

"Kau menyimpan ponselku dimana?" oh ponsel Harry. Ponsel sialan yang membuat hatiku sakit. Jika Harry bukan lelaki tempramental yang sangat emosional, mungkin aku sudah membakar ponselnya dan melacak gadis perusak bernama "Scarla" itu, lalu membunuhnya.

"Laci," sahutku singkat lalu bangkit menuju dapur untuk mencari sesuatu yang tiba-tiba saja aku ingin memakannya. Aku ingin puding cokelat dengan fla susu vanilla manis.

Kurasa Harry akan melihat panggilan masuk dan misscall di ponselnya itu. Paling ia akan memarahiku sebentar lagi. Tapi kuharap ia takkan melakukannya. Aku benci saat menghadapi Harry pemarah.

~~~

07:00 PM

Kukenakan gaun putih sederhana dengan sabuk hitam sebagai hiasan, high heels hitam, dan kugerai rambutku dengan memberi beberapa jepit disana. Tapi sialnya, resleting dressku tak dapat kuraih hingga atas. Ahh, terpaksa aku harus meminta bantuan Harry.

"Harry," kucari sosoknya di ruang tengah. Ternyata ia ada di balkon. Ia terlihat tengah memerhatikan sesuatu dan menikmati hembusan angin yang menerpa rambutnya. Ia tampan walau hanya terlihat punggungnya saja.
"Harry," panggilku lalu ia menoleh. "Bisakah kemari sebentar?"

"Kau yang memerlukanku, mengapa tidak kau saja yang kemari?" okay, ia mulai bersikap menyebalkan.

Kuputar kedua bola mataku, jengah. Sabar Shell. "Aku butuh kau di kamar, tolong," mohonku merendahkan diriku sendiri di hadapannya.

Dengan wajah malas, ia mengikutiku masuk ke dalam kamar. "Sekarang apa?"

"Bisakah kau menarikan resletingnya untukku? Tanganku tak sampai, hehe."

Ia nampak terkejut dan seketika mengerutkan keningnya menatap punggungku yang terbuka. "Berbalik!" ia memerintahku yang langsung kuturuti.

Entah mengapa, Harry lama sekali menarik resleting dressku. Padahal hanya tinggal menariknya ke atas. Itu mudah kan? "Har-" ucapanku terpotong saat kurasakan sebuah sentuhan menyentuh punggungku. Mengusapnya lembut dengan melalui tali braku. Memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan itu secara diam-diam. Astaga, apa yang ia lakukan?

My Emotional Husband // [{Harry Styles}]Where stories live. Discover now