THIRTY FIVE

15.1K 1.3K 2
                                    

Mataku mengerjap beberapa saat, menyesuaikan cahaya terang menyilaukan didepan sana. Aku memandang sekeliling. Seperti dejavu, aku familiar dengan tempat ini. Hamparan padang rumput yang luas, rerumpunan bunga, suara air mengalir, dan ahh... mendadak kepalaku jadi pusing.

Kilasan-kilasan wajah mama terbayang kembali. Sampai akhirnya aku ingat bahwa aku memang pernah berada ditempat ini, bersama mama.

Mataku berkelana, mencari sosok mama yang mungkin saja sedang menungguku disini. Dan benar saja, siluet seorang wanita yang amat sangat kukenali tiba-tiba muncul. Wanita itu berjalan perlahan menghampiriku. Wanita yang amat sangat kurindukan, wanita yang pernah melahirkanku ke dunia, wanita yang akan selalu ada dalam hatiku, dalam setiap doa yang kupanjatkan.

"Mama..." Ucapku lirih. Senyum lembut mama menyambutku. Dengan isyarat tangannya, mama menyuruhku mendekat. Dalam sekejap, aku berlari ke arahnya. Menghambur ke pelukannya yang hangat.

Mama memelukku erat. Menghujaniku dengan kecupan-kecupan sayang yang sangat kurindukan. Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Mama membelai lembut rambut panjangku, menenangkan.

Setelah tangisku reda, mama menarikku duduk disalah satu bangku panjang. Tidak sedetik pun aku mengalihkan pandanganku dari sosok mama yang terlihat sangat cantik. Wajahnya bersinar, kontras dengan bajunya yang putih bersih. Selama beberapa detik, aku terus memandangi mama, aku takut sedetik saja aku berkedip, mama akan pergi dari pandanganku.

"Mama jangan pergi ya." Ucapku memohon. Namun, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mama. Perempuan yang sangat kusayangi itu hanya tersenyum lembut.

Aku tidak tahu apa arti senyum mama. Sampai aku sadar sepertinya senyum mama bukan ditujukan padaku, melainkan pada seseorang yang berdiri dibelakangku. Aku pun menoleh, dan terkejut kala mendapati sosok lelaki paruh baya tengah tersenyum padaku.

Papa.

Wajah papa bersinar, seperti mama. Jubah putih yang dipakainya terlihat putih bersih. Papa berjalan mendekatiku, lalu duduk tepat disampingku.

"Papa... Kenapa papa juga ada disini?" Tanyaku bingung. Papa tidak menjawab, hanya tersenyum. Senyuman yang sangat kurindukan sejak kami tidak lagi saling bicara.

Papa mengusap-usap Puncak kepalaku. Begitu juga mama yang membelai surai hitamku yang menjuntai sebahu. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kehadiran sosok papa dan mama disamping kanan kiriku membuat ingatanku kembali terlempar ke masa kecilku.

Kupeluk dua orang yang sangat kusayangi didunia ini penuh kerinduan. Begitu juga papa dan mama yang merengkuh tubuhku, Putri mereka yang kini sudah tumbuh dewasa. Air mataku kembali mengucur dengan derasnya. Kata 'seandainya' berputar-putar dikepalaku.

Seandainya mama masih hidup, seandainya papa tidak menghianati janji sucinya dengan mama, seandainya aku tidak pergi meninggalkan papa, mungkin seperti ini keluarga kami saat ini.

Papa masih bekerja di perusahaan miliknya, mama masih menjadi ibu rumah tangga yang perhatian pada keluarga, dan aku tidak akan mungkin hidup sebatang kara.

"Waktu kami sudah habis, sayang." Ucapan mama membuyarkan lamunanku.

"Waktu apa?" Tanyaku dengan jantung yang berdegup kencang. Ketakutan mulai menguasai diriku.

Mama kembali menatapku dengan sorot lembut keibuan yang begitu kurindukan. Dibelainya rambut panjangku, menenangkan.

"Setiap manusia punya batas waktu, Nak."

"Ma-maksud mama?" Tanyaku bergetar. Ingin sekali aku menutup kedua telingaku, tidak mau lagi mendengar kalimat mama.

"Hari ini mama datang untuk menjemput papa. Sama seperti mama, waktu papamu di dunia sudah habis, sayang."

Ucapan mama bagaikan petir disiang bolong. Dadaku rasanya sesak. Refleks aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku tidak mau kehilangan lagi. Sudah cukup aku hancur karena mama meninggalkan aku.

"Kami harus pergi, sayang." Kali ini papa yang menjawab. Tatapannya lembut. "Maafkan papa."

"Nggak!" Teriakku, bangkit dari tempat dudukku. Kupandang wajah papa dan mama bergantian. "Kalian mau kemana? Papa sama mama nggak boleh pergi! Papa sama mama nggak bisa ninggalin aku sendirian disini!" Teriakku penuh ketakutan. Bahkan Air mataku sudah jatuh bercucuran.

Mama menghampiriku, dipeluknya tubuhku erat. Begitu juga papa yang melingkarkan lengan kekarnya di tubuh kami.

Pelukan hangat mereka terlepas, saat sebuah cahaya terang menyilaukan menyoroti kami. Papa dan mama tersenyum, mencium keningku bergantian.

"Kami pergi dulu, sayang. Jaga diri baik-baik."

Aku menjerit keras, menggelengkan kepalaku kuat, tubuhku luruh ke tanah bersamaan dengan tubuh papa dan mama yang pergi menjauh kearah pusaran cahaya. Melayang, terbang tinggi ke tempat yang disebut surga.

***
Mimpi buruk yang terjadi semalam, akhirnya menjadi nyata. Siang ini, setelah melaksanakan shalat zuhur, aku kembali ke ruangan papa dengan jantung yang berdegup kencang. Aku berlari sekuat tenaga saat salah seorang perawat papa menghubungiku dan mengatakan bahwa kondisi papa tiba-tiba kritis.

Ketakutan-ketakutan mulai membayangi diriku. Kuperlambat langkah saat melihat beberapa dokter dan juga perawat yang selama ini merawat papa sibuk mondar mandir di depan ruangan papa. Aku tidak berani masuk kedalam. Kulihat dibalik pintu, patient monitor yang terpasang ditubuh papa sudah menunjukkan tanda penurunan. Pikiranku kacau. Dari balik pintu, tampak dokter sedang berusaha menyelamatkan nyawa papa dengan defibrillator. Mulutku tidak henti berkomat-kamit. Melafalkan serangkaian doa.

Pa... Tolong jangan pergi. Papa harus kuat.

Namun, suara detak jantung yang tidak lagi terdengar, garis lurus pada patient monitor, dan juga wajah-wajah pias para dokter membuat duniaku runtuh dalam sekejap. Dokter menggelengkan kepalanya pada salah seorang perawat. Perawat itu melihat jam dipergelangan tangannya, yang kutebak sedang melihat waktu kematian papa.

Tubuhku membeku ditempat. Salah seorang dokter yang kukenali adalah juga teman dokter Rama berjalan menghampiriku. Dia menepuk pundakku mengucapkan kata maaf dengan raut wajah penyesalan yang teramat dalam. Lalu, dokter itu berlalu pergi meninggalkan aku yang masih terpaku ditempatku.

Perlahan, aku berjalan menghampiri tubuh papa. Beberapa perawat yang juga mengenalku turut mengucapkan permohonan maaf juga bela sungkawa. Aku tidak merespon apa-apa, tubuhku rasanya mati rasa, bibirku kelu, bahkan untuk memangis saja rasanya aku tidak mampu.

Kupandangi wajah damai papa dalam lelap tidur panjangnya. Wajah papa yang muncul dalam mimpiku semalam, kini hadir dihadapanku.

"Kenapa?" lirihku. "Kenapa papa tinggalin Bila?"

Kurasakan usapan lembut dipundakku. "Mbak Bila yang sabar. Ikhlas mbak. Ikhlas."

Kutatap wajah Bu Puji, perawat senior yang sejak awal merawat papa. "Papa bohong sama saya, Bu. Papa bilang nggak akan tinggalin saya. Tapi, sekarang apa? Bu Puji...ini saya lagi mimpi kan? Tolong... bangunkan saya, Bu."

Aku meracau tidak jelas. Tubuhku luruh seketika. Bu Puji dan beberapa perawat membantu menopangku. Ucapan menenangkan mereka tidak lagi bisa kudengar. Bahkan saat budhe dan pak dhe datang sambil menangis, aku masih tetap diam tidak bereaksi apa-apa. Pandanganku kosong. Rasanya kebas. Lalu detik berikutnya, semua duniaku mendadak gelap seketika.

***

Hey, Bi! #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang